Berdampak Negatif Dalam Tumbuh Kembang; STOP Mengajak Anak Menonton Film HOROR


         Bioskop Indonesia saat ini sedang dibanjiri film-film horor produksi dalam negeri dan luar negeri Kondisi tersebut sudah berlangsung lama sejak tahun 2018. Di awal tahun 2019 ini bahkan setiap bulannya minimal ada lima film horor  yang menominasi bioskop Indonesia di layar XXI, Cinemax dan CGV. Di Januari ada film Perjanjian Iblis, Mata Bathin 2, Tabu, Tembang Lingsir dan Dread out ikut meramaikannya.
            Di bulan Februari dari  9 (Sembilan) film yang tayang di bioskop lima diantaranya film horor, yaitu Satu Suro, Kain Kafan Hitam, Happy Deadth Day 2U, Lord of Chaos dan The Prodigy. Di bulan Maret dari 8 film layar lebar yang tayang di bioskop lima diantaranya juga didominasi film horor, yaitu Reva guna-guna, US, MatiAnak, Roy Kiyoshi (The Untold Story) dan The Sacred Riana Beginning.
            Lima film horor disetiap bulannya selalu sukses di pasaran, karena itu produser film tetap memproduksi film-film horor dengan tujuan meraup keuntungan. Film sebagai media komunikasi massa diharapkan berperan sebagai sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat serta wahana promosi Indonesia di dunia Intrenasional. Untuk mewujudkan hal itu Negara membentuk Lembaga Sensor Film (LSF) yang tertuang dalam amanah Undang-Undang No.33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
            Setiap orang baik individu  maupun organisasi memiliki hak menjadi pelaku pembuat film. Hak mereka dilindungi undang-undang untuk dapat berkreasi, berinovasi, dan berkarya. Atas dasar hak tersebut para pelaku usaha pembuat  film dapat memproduksi film sesuai kreasinya sepanjang tidak melanggar undang-undang dan peraturan yang berlaku. Dan negara berkewajiban melakukan perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif film  yang diedarkan dan dipertunjukkan.
Korelasi antara hak masyarakat pelaku film dengan kewajiban pemerintah dalam melindungi masyarakat dari dampak negative  film berada pada wewenang LSF. LSF bertugas menyensor film dengan melakukan penelitian dan penilaian  kemudian menentukan penggolongan usia penonton. LSF melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria penyensoran film kemudian mencantumkan penggolongan usia penonton, yaitu untuk penonton Semua Umur, penonton usia 13 tahun atau lebih, penonton usia 17 tahun atau lebih dan  penonton usia 21 tahun.
            Dan untuk film dengan genre horor, LSF memberikan klasifikasi usia penonton 17 tahun atau lebih  dengan memenuhi kriteria mengandung nilai pendidikan, budaya, budi pekerti, apresiasi, estetika dan atau pertumbuhan rasa ingin tahu yang positip. Kemudian berisikan tema, judul, adegan visual serta dialog atau monolog yang sesuai dengan penonton berusia 17 tahun keatas. Berkaitan dengan seksualitas yang disajikan secara proposional dan edukatif, serta berkaitan dengan kekerasan yang disajikan secara proposional dan edukatif. Karena kriteria tersebut maka film untuk penonton usia 17 tahun tidak layak ditonton oleh penonton usia di bawah 17 tahun atau anak-anak.


Nonton Film Horor bersama Anak   
            Film horor pada umumnya diberi klasifikasi usia  17 tahun oleh LSF,  karena didalamnya sering sekali ditemukan adegan-adegan kekerasan dengan seksualitas yang proposional bagi anak usia 17 tahun dan adegan-adegan menyeramkan yang hanya dapat diterima nalar anak-anak usia di atas 17 tahun. Untuk memutuskan hal tersebut LSF melakukan sensor dengan melakukan penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan jika film itu film impor.
Masyarakat yang telah diberi perlindungan dari pengaruh negatif  film mestinya dapat melakukan sensor mandiri dengan memilah dan memilih film sesuai dengan usianya. Namun   faktanya sering kali film horor dengan klasifikasi usia penonton 17 tahun ditonton anak-anak usia di bawah 17 tahun bahkan anak-anak balita yang menonton bersama orang- tuanya . Film Suzanna reborn  “Beranak dalam Kubur” yang tembus 4 juta penonton banyak ditonton keluarga yang membawa anak-anaknya, meski di running tex penjual karcis menayangkan  bahwa film tersebut  untuk usia 17 tahun. Bahkan di depan kasir bioskop  sering kali tertulis pengumuman “Tontonanlah Film Sesuai Usia”. Orang tua  ingin bernostalgia mengenang “Suzanna”  tetapi membawa anak-anaknya tanpa memikirkan dampak negatif  film tersebut bagi usia anak-anak.
Perlindungan terhadap anak-anak dalam pengaruh negatif film bukan hanya diamanatkan dalam undang-undang perfilman, anak-anak juga  mendapat perlindungan khusus yang diatur dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Anak-anak mendapat perlindungan untuk tumbuh kembang anak sesuai dengan perkembangan usianya.

Film Horor Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak
            Anak-anak sebaiknya tidak diajak menonton film horor karena ada beberapa alasan, antara lain, mereka belum bisa membedakan mana fiksi dan realita. Orang dewasa dengan usia 17 tahun ke atas dapat membedakan mana yang merupakan fiksi dan mana yang merupakan realita, tapi tidak dengan anak-anak. Anak-anak  bisa menganggap film horor yang hanya fiksi adalah sebuah realita. Karena menganggap itu realita hasilnya mereka akan menganggap sosok-sosok menyeramkan dalam film tersebut ada. Ini akan dapat menjadi bayangan dan fantasi sendiri bagi anak-anak, mereka bisa jadi menjadi takut akan bayangan itu, parahnya lagi illusi dan bayangan itu bisa jadi akan membuat anak mengalami gangguan kesehatan mental.
            Psikiater anak dari American Academu of Child & Adolescent Psychiatru, Daniel S Schechter mengatakan bahwa anak-anak yang menonton film horor sangat memungkinkan akan mengalami gangguan kesehatan mental. Gangguan mental yang dialami seperti kegelisahan, gangguan tidur, dan tingkah laku yang membahayakan diri sendiri.
            Dampak negatif lainnya buat anak yang menonton film horor adalah membuat anak menjadi agresif. Agresif anak akan mendorong anak untuk meniru aksi dalam film yang ditontonnya. Psikolog Keluarga RY Langham mengatakan bahwa anak yang menonton film horor sangat mungkin meniru adegan agresif dan kekerasan yang ada dalam film tersebut. Anak juga lebih mudah terpengaruh oleh film horor daripada orang dewasa, jika orang dewasa bisa menyembunyikan rasa takut, tapi tidak dengan anak-anak. Mereka bisa menangis ketakutan tanpa alasan yang jelas hanya karena membayangkan film horor yang baru mereka tonton.
Anak yang sering menonton film horor  lebih lanjut akan berdampak  mati rasa karena dalam film horor para tokohnya akan melakukan segala cara untuk bisa bertahan hidup. Hal itu dapat membuat anak berpikir bahwa mereka boleh menyelesaikan masalah dengan segala cara termasuk cara kekerasan, perasaan mereka akan mati dan tidak peduli dengan orang lain. Efek jangka panjang menonton film horor bagi anak bisa berdampak pada pola pikirnya. Sebab, anak-anak masih ingin terus mengeksplorasi diri mereka terhadap apa yang ditonton.
Dampak negatif menonton film horor sering sekali diulas oleh psikologi anak, diantaranya adalah  Psikolog anak dan keluarga, Ajeng Raviando. Secara tegas Ajeng menyatakan film horor memang dapat memiliki dampak negatif  bagi anak-anak bahkan berbahaya. Menurut Ajeng, Adapun alasan film horor berbahaya bagi anak-anak karena konsep berpikir anak masih belum sempurna sehingga anak belum bisa mempertimbangkan mana yang sungguhan dan imajinasi. “Film horor dapat memiliki dampak negatif bagi anak karena si kecil masih berada pada tahap dimana perkembangan nalar dan konseptualnya belum sempurna,” kata Ajeng kepada Tribunnews.com, Rabu (5/12/2018). Karena perkembangan nalar yang belum sempurna itu, anak-anak pun akan mengira kalau kejadian di dalam film horor adalah sungguhan. Kemudian nantinya dikhawatirkan setelah menonton film horor akan timbul kecemasan pada diri si anak yang bisa mengubah perilakunya.

“Ketika anak mengira bahwa apa yang ditampilkan di film adalah realita padahal film horor merupakan imajinasi manusia, maka bisa timbul kecemasan pada anak yang membuat perilaku sehari hari nya pun berubah,” kata Ajeng.
Perubahan tingkah laku pada si anak setelah menonton film horor, seperti takut tidur sendirian, tidak berani menutup pintu saat berada di ruangan yang sepi seperti kamar mandi, dan kerap membayangkan kejadian-kejadian yang ditayangkan pada film horor.
Sebuah studi ilmiah yang dilakukan Joanne Cantor, profesor seni komunikasi di University of Wisconsin, dan Dr. Kristen Harrison, profesor studi komunikasi di University of Michigan, mencatat kalau anak-anak paling berisiko mengalami efek ketakutan yang akan bertahan lama jika menonton film horor. Si kecil bisa menganggap sosok menyeramkan dalam film adalah nyata, sehingga ia bisa membuat bayangan dan fantasinya sendiri. Hal ini tentu saja bisa membuatnya sangat takut dengan fantasinya tersebut.  Dalam jangka panjang dapat menyebabkan ganguan kecemasan dan fobia.
Ahli teori perkembangan dari  Swiss, Jean Piaget, juga menyatakan  pengembangan kognitif didasarkan pada skema, atau cara memahami dunia. Ketika seseorang tumbuh dan belajar, skema mereka pun berubah. Anak-anak belum memiliki pengalaman hidup untuk menempatkan film-film horor ke dalam perspektif, sehingga mereka berisiko merasakan kegelisahan atau fobia yang bertahan lama. Bila si kecil biasanya cemas dan takut, atau  mereka kesulitan membedakan fantasi dari kenyataan. Hal itu dapat mengalami gangguan tidur segera setelah menonton film yang menakutkan. Bayangan tampak mengintimidasi, suara-suara diperbesar dan mimpi sering kali meresahkan. Bagi kebanyakan orang, efek ini berlangsung sesaat. Tapi dalam beberapa kasus, gangguan tidur bertahan selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Seorang psikolog keluarga, RY Langham mengatakan kepada Association for Youth, Children and Natural Psychology (AYCNP) bahwa anak-anak yang menonton film-film menakutkan dapat menunjukkan perilaku agresif atau kekerasan baik di sekolah maupun di rumah. Ini disebabkan karena ketidakmampuan mereka untuk memahami konsekuensi yang mereka miliki di dunia nyata. Sebagai contoh, anak  berpikir dia tidak terkalahkan dan tidak mengerti mengapa dia tidak dapat melakukan aksi yang sama seperti para pahlawan dalam film. Setelah menyaksikan film horor,  anak-anak kecenderungan akan menangis,  merasa mual, ingatan film tersebut akan terus melekat.  


STOP Mengajak Anak Menonton Film Horor              
Orang tua  adalah orang terdekat dan yang paling mengenal anak-anaknya, begitu banyak catatan psikolog yang menyatakan dampak negatif menonton film horor masihkah ingin mengajak anak  menonton film horor. Seberapa banyak orang tua dapat mendampingi dan memberikan pengertian tentang fiksi di film horor.
Anak memiliki hak untuk tumbuh kembang yang baik dan proposional sesuai dengan usianya, jangan karena kelalaian orang tua menjadikan anak kehilangan tumbuh kembang psikis yang positip.  Mengingat lebih banyak efek negatif yang bisa ditimbulkan, tak ada salahnya jika orang tua  bersabar  hingga beberapa tahun ke depan untuk mengajak si kecil bersama menonton film horor. Karena itu, “Stop mengajak anak menonton film horor”. (Suhartini, dari berbagai sumber).


Komentar

Postingan Populer