Ulama Juga Manusia
Oleh : Suhartini Samiun
Belakangan ini banyak kali ajaran dan anjuran dari para
ustadz-ustadz dan ulama tentang sesuatu yang dilarang dilakukan umat Islam.
Terus terang banyak hal baru yang diperoleh dari anjuran-anjuran yang selama
ini tidak dipahami. Jangan rayakan valentin, akupun tak merayakan. Jangan
ucapkan kata natal aku pun menggantinya dengan ucapan tahun baru kepada
sohib-sohibku yang kristiani. Dengan tetap menjaga keharmonisan persahabatan
yang bertahun-tahun sudah kami jalani.
Kemudian ada larangan mengucapkan selamat hari ibu, larangan
yang ini membuat aku bingung, apa iya harus kuikuti namun jemari tangan ini
justru tertarik untuk membuat suatu tulisan tentang “perempuan” yang disebut ibu. Apakah aku
menjadi berdosa. Entahlah, yang pasti dalam iman agamaku aku harus mengikuti
petuah dari ustadz-ustadz atau ulama-ulama meskipun aku harus menyaring dulu
siapa yang pantas kuanggap ulama. Sebab Rasullullah Shalallahualaihi Wassalam
bersabda “Al’ulama Warasatil anbiya” yang artinya Ulama adalah pewaris para
nabi (Hadist Riwayat At-Tirmidzi).
Karena rasa takut akan dosa sebab aku adalah manusia yang
penuh dengan lumpur dosa dan tak luput dari segala salah, aku mencari tahu apa
itu ulama, dan apa syarat- syarat menjadi ulama. Ulama menurut kamus wikepedia
adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas mengayomi, membina, dan
membimbing umat Islam baik dalam masalah agama maupun masalah sehari-hari yang
diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Secara
etimologi ulama berasal dari bahasa arab yaitu “Alim” yang diartikan sebagai
kata (Alim=mengetahui) maka ulama adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan.
Lalu apa
syarat-syarat menjadi ulama, karena saat ini ilmu begitu luas dan terbuka
kucari informasi lewat internet. Melalui
google, di Blog Ahlussaunnah Wal Jama’ah, disebutkan ada 10 syarat, tapi dari
empat syarat yang aku baca, aku sudah bisa memilih dan memilah mana yang pantas
dikatakan ustadz/ulama mana yang hanya karena keberuntungan mereka menjadi
artis ustadz. Kupikir sobat-sobat facebookku perlu tahu juga empat syarat yg
sudah kubaca itu, daripada capek2 mendonloud yang dapat menguras kuota
internet.
Keempat syarat itu adalah;
1.
Berkemampuan
untuk menggali hukum dari Alquran termasuk didalamnya harus mengetahui Asbab-Al
Nuzul.
2.
Memiliki
ilmu yang luas tentang hadist Nabi Muhammad SAW berkaitan dengan persoalan
hukum.
3.
Menguasai
persoalan-persoalan yang disepakati ulama (Ijma’)
4.
Menguasai
Qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan hukum.(Empat syarat tersebut di atas sudah
mewajibkan bahwa ustadz/ulama adalah orang-orang yang memiliki ilmu, maka
beliau akan mampu menjawab segala pertanyaan-pertanyaan umat tentang hukum
keagamaan maupun sosial kemasyarakatan).
Mentertawakan Ulama
Informasi yang luas membuat orang menjadi pintar bahkan ‘melecehkan’ ulama dengan tertawa terbahak-bahak ( digambarkan dengan emoji gambar orang tertawa hingga mengeluarkan air mata) dengan mengirimkan pesan melalui Whats App bahwa ustadz “anu” menyatakan merayakan hari ibu haram....Nah yang sudah merayakan berarti haram. Lalu yang lain yang ada dalam grup ikut tertawa-tawa juga sembari “melabelisasi” bahwa ustadz-ustadz /ulama-ulama itu pengen beken dan viral, itu diucapkan dengan dasar ustadz/ulama adalah manusia bukan Tuhan.
Mentertawakan Ulama
Informasi yang luas membuat orang menjadi pintar bahkan ‘melecehkan’ ulama dengan tertawa terbahak-bahak ( digambarkan dengan emoji gambar orang tertawa hingga mengeluarkan air mata) dengan mengirimkan pesan melalui Whats App bahwa ustadz “anu” menyatakan merayakan hari ibu haram....Nah yang sudah merayakan berarti haram. Lalu yang lain yang ada dalam grup ikut tertawa-tawa juga sembari “melabelisasi” bahwa ustadz-ustadz /ulama-ulama itu pengen beken dan viral, itu diucapkan dengan dasar ustadz/ulama adalah manusia bukan Tuhan.
Bukan hanya itu, teman-teman dan
sahabat facebook yang selama ini kukagumi karena kepintarannya bahkan
mengucapkan kata “Kau” pada ustadz yang memberikan informasi tentang larangan
melakukan kebiaasaan yang dilakukan orang-orang kafir dan yahudi. Sungguh miris
hati ini, meski status yang dibuatnya itu mendapat ratusan jempol dan ucapan
selamat. Bahkan kawan tu yang selama ini aku kagumi karena keahliannya
beragumentasi dengan pengetahuan-pengetahuannya dinyatakan dapat menjadi ustadz
pengganti ustadz yang dilecehkan itu.
Mengapa aku menulis tentang tulisan
ini, ada dua alasanku. Pertama adalah berbagi informasi buat sahabat-sahabat
dan teman-teman melalui media sosial yang saat ini banyak memuat berita HOAX.
Kedua, karena aku memiliki waktu luang, daripada kuhabiskan melamun lebih
baiklah aku menulis. Walaupun gara-gara membuat tulisan ini masakanku menjagi
sedikit gosong, he..he....
Miris sekali hatiku melihat
orang-orang pintar ‘mentertawakan’ ulama bahkan menuduh ulama sok pintar
sendiri padahal dalam dirinya masih banyak yang perlu dikaji. Kalaulah orang-orang
pintar terus menerus berdebat dalam mempertahankan kebenaran dalam keyakinannya
maka mereka secara tidak langsung telah membenturkan sebahagian Alquran dengan
sebahagian Alquran lainnya. Sungguh hal yang sangat menyedihkan.
Sabda Rasullulah yang artinya “Tidak
ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk melainkan karena mereka
suka berjidal (debat untuk membantah). H.R. Tirmidzi Ibnu Majah dan Ahmad).
Dan dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnuh
Majah dan asalnya dari Shohih Muslim dari Abdullah bin Amr, dikatakan : “Sesungguhnya
Nabi Muhamad SAW pernah keluar sedangkan mereka, (sebahagian sahabat) sedang
berselisih tentang takdir. Maka memerahlah wajah beliau bagaikan merahnya buah
rumman karena marah, maka beliau bersabda; “Apakah dengan ini kalian diprintah,
atau untuk ini kalian diciptakan, kalian telah membenturkan sebahagian Alquran
dengan sebagiannya ?? Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa (Catatan ;
Sulaiman Abu Syeikha).
Ustadz dan Ulama juga manusia
Saya setuju jika ustadz dan ulama adalah manusia, yang tak luput dari segala salah dan dosa kecuali orang-orang yang mendapat petunjuk. Karena itu, tidak dipungkiri bakwa suatu hari pada waktu-waktu tertentu anjuran dan himbauan dari ustadz menjadi sebuah tanda tanya, apakah harus diikuti atau tidak.
Suatu hari masih dalam pesan media
sosial melalui Whats App, yang katanya dari KH.DR Tb Abdurrahman Anwar Al-Bantany,
Wakil Ketua Dewan Fatwa Tarbiyah PERTI
(Entah benar atau tidak karena tidak ada sumber yang jelas) tetapi
informasi ini sudah pasti telah membangun opini pembacanya termasuk saya yang
ada di dalam grup, tentang perayaan Tahun Baru Masehi yang dirayakan umat
Islam. Katanya, yang dagang petasan, terompet dan kembang api adalah umat
Islam. Yang membeli dan merayakan hingga jalanan macet juga umat Islam. Umat
Islam berbondong-bondong ke Ancol, TMII, Puncak dan tempat-tempat hiburan,
serta jalan-jalan macet dalam rangka merayakan tahun baru masehi yang dianggap
sebagai tahun barunya orang-orang nasrani. Dalam catatannya beliau mngajak
merenung apakah kita umat Islam dari tahun-ke tahun akan terus-terusan
meramaikan dan memeriahkan tahun baru tersebut, padahal tahun barunya umat
Islam adalah Muharam.
Aku sangat tertohok dengan renungannya, karena aku dan keluarga sudah merencanakan pada tahun baru nanti akan jalan-jalan ke puncak. Dan tentunya kami akan menjadi bagian orang-rang yang membuat macet jalanan.
Kurenungkan tulisan itu tetapi tidak
aku respon karena aku takut berbantah-bantahan dengan ilmu yang sangat sedikit
kumiliki. Tetapi karena Allah telah memberikan akal, pikiran dan perasaan buat
manusia, termasuk diriku tentunya aku mempunyai sikap. Tak mungkin kubatalkan
rencana berlibur di tahun baru tetapi karena tahun baru adalah hari libur maka
sagatlah wajar jika siapapun masyarakat Indonesia untuk berlibur. Niatnya bukan
untuk merayakan tahun baru masehi tetapi berlibur bersama keluarga untuk
kebersamaan. Mengutip hadist Rasulullah SAW, “Innamal A’malu Binniyat,
perbuatan itu tergantung dari niat. Niatnya adalah berlibur karena 1 januari di
tahun baru masehi itu hari libur, mencari tempat untuk memuji keindahan ciptaan
Allah SWT sekaligus berbahagia bersama keluarga.
Di akhir tulisan ini, aku mau meminta maaf kepada teman-temen media sosial yang tidak berkenan dengan tulisan ini. Aku bukan siapa-siapa, bukan ustadzah bukan pula mualimah. Aku hanya Suhartini S.Sos, seorang sarjana jurnalistik yang punya waktu luang untuk menulis. Dalam tulisan ini dengan berbagai sumber yang aku dapatkan, aku ingin mengajak kawan-kawan untuk berpikir kembali dalam menyela pendapat ustadz/Ulama, meskipun kalian punya ilmu yang lebih. Karena berbantah-batahan dalam soal agama bukanlah hal yang baik, sesuai dengan Firman Allah Subhana wata’allah yang artiny; “Dan taatlah kepada Allah dan rasulnya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar (QS. An.Anfaal ; 46).
“Semoga Bermanfaat...”.
Wassalam
Komentar
Posting Komentar