Cerita Pendek
IBU
“Kriing...!” ,“Kriing...!”,“Kriing...!”
“Mak telepon, bunyi terus itu bising,” ujar anakku menghentikan aktivitas pagiku.
“Angkat napa, ini mama lagi naggung,” jawabku. Memang aku sedang memasak bubur buat sarapan pagi ibuku. Semua sudah selesai, tinggal membuat bubur. Ibu tidak mau lagi makan nasi yang keras. Apapun lauknya, nasinya harus bubur.
“Ma...dari tante Ningrum, mau ngomong sama mama,! Jerit anakku di sudut ruang tamu.
            Akupun bergegas menuju ruang tamu dengan terlebih dahulu mengecilkan api kompor buat bubur ibuku.
            “Happy Mother Day, Shinta...!”, suara Ningrum di ujung telepon.
            “Oh my God. Ini hari ibu ya. Apa cerita ini pagi-pagi dah telepon,” tanyaku penasaran, karena selain mengganggu aktivitas pagiku, telepon ini juga mengundang tanya bagiku. Tapi kabar ini membuat senang hatiku karena aku tidak teringat ini hari ibu. Hari ibu yang sebenarnya tidak pernah aku tahu manfaatnya. Karena bagiku, hidupku, hari-hariku tetap bahagia bersama ibu.
            “Berhubung ini hari ibu, mari kita bahagiakan ibu dengan mengajak ibu kita ke suatu tempat. Di tempat itu kita akan bertanya apa yang tidak dia suka selama dia menjadi ibu,” celoteh Ningrum.
            “Ibumu dan ibuku ?”, tanyaku.
            “Yup ditambah ibunya Rina, Ibunya Rara dan Ibunya Rika,” ujar Ningrum.
            “Ya udah aku setuju, dirimu yang hubungi mereka ya, aku mau menyiapkan diri bersama ibuku,” kataku.
            Kututup telepon lalu bergegas menuju dapur, menyelesaikan tugasku sebagai anak dan ibu. Sarapan sudah selesai, kini harus bergegas menuju kantor, hendak permisi untuk kembali lagi membawa ibu kesebuah tempat yang ibu suka. Sebagai perempuan pekerja, aku harus menjadi ibu yang kuat, sehat dan semangat.

=##=
           
            Jam menunjukkan pukul 14.30 WIB, tepat di waktu itu aku sudah sampai di sebuah resto yang ada di Puncak Bogor. Sebuah tempat yang dijanjikan Ningrum untuk bertemu dengan kami plus ibu-ibu kami. Aku, Ningrum, Rina, Rara dan Rika adalah lima ‘perempuan’ yang telah menjadi sohib sejak SMA, dan entah kenapa kami lima ‘perempuan’ yang ditakdirkan menjadi wanita karier yang sibuk dengan bekerja. Tetapi tetap harus menjadi ibu yang smart dan semangat untuk anak-anaknya. Mungkin karena memang dunia telah memberi kebebasan buat ‘perempuan’ untuk memilih jalan hidupnya, stay di rumah sebagai ibu rumah tangga  atau ikut bekerja membantu perekonomian keluarga.
            Aku dan ibuku sampai duluan, di tempat yang sudah disediakan Ningrum dengan persiapan yang begitu indah. Petugas yang ramah menyambut kami, tempat yang begitu nyaman di sebuah taman. Aku begitu takjup melihat dan menyaksikan persiapan yang dilakukan Ningrum di hari ibu kali ini. Hiasan dan bunga-bunga di taman bukan hanya menyejukkan pandangan mata kami, tapi sekaligus menyejukkan hati kami. Tangan ibu kugenggam erat untuk menyiratkan makna, bahwa hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku  dan kuharap ibupun begitu.
            Tidak berselang lama, keempat sahabat-sahabatku muncul dengan ibu-ibunya. Ningrum dengan tante Amirah, Rina dengan tante Jamilah, Rara dengan tante Naila, serta Rika dengan Nande Surbakti. Mereka begitu cantik dengan dadanan yang sederhana yang menarik. Acara ini sepertinya sudah direncanakan Ningrum sejak lama, Nungrum memang wanita sukses dengan kariernya, karena itu rupiah tidak ada masalah baginya. Dan hari ini, acara yang begitu meriah dan mempesona ini, dia siapkan sendiri dengan uangnya, kami hanya diminta hadir bahkan dengan pesanan taksi online yang telah dibayarnya dengan kartu kredit.
            Kamipun saling menyapa, berpelukkan erat sembari meneteskan air mata. Mungkin  karena tema yang diusung dalam pertemuan ini yaitu tema “bahagiakan ibu”, membuat pertemuan kami yang biasanya dipenuhi dengan kelakar dan tawa tetapi hari ini mengharu biru bagaikan kidung bersenandung rindu.
            Ningrum mulai menguraikan kata tentang maksud dan tujuannya dalam pertemuan ini. Yaitu selama menjadi ibu, apa kiranya yang tidak disukai ibu-ibu kami selama mereka menjadi ibu. Sebelum mendapatkan jawaban, ibu-ibu kami diminta untuk bersuara dan bermufakat untuk sepakat mengucapkan satu kalimat, hanya satu kalimat penting yang tidak mereka suka selama mereka menjadi ibu.


= ## =

            Ibu-ibu itu berkumpul, berdialog dengan serius, amat serius sehingga ‘tergambar’ di raut wajahnya yang mulai keriput. Sepertinya tidak susah menentukan satu kata, karena hanya butuh waktu lima menit selanjutnya mereka tertawa renyah menunggu sisa waktu yang tersedia untuk bertemu kembali dengan kami. Kami yang sudah sepakat memberikan waktu dua jam untuk mereka bermusyawarah tetap menunggu waktu itu. Setelah lima menit waktu berlalu itu, yang tersisa adalah tawa dan canda yang menularkan rasa bahagia bagi kami anak-anaknya.
            Menunggu jawaban itu, aku ingin sedikit memperkenalkan sosok ibu-ibu dari sahabatku yang sudah lama aku kenal, bahkan sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Karena aku merasa mereka juga selalu memperlakukan aku seperti anaknya sendiri. Mau tau siapa mereka menurut pandanganku ..?.
            Ibuku  bernama Saripah, seorang ibu dari istri seorang guru Sekolah Dasar di sebuah sekolah negeri yang ada di sebuah desa. Untuk membesarkan anak-anaknya yang berjumlah 9 orang, dan kebetulan aku anak bungsu, ibuku ikut membantu perekonomian keluarga dengan berdagang di pasar tradisional. Alhamdullilah, dari hasil perjuangannya kami semua layak dinyatakan sebagai anak  manusia yang bahagia. Dan setelah dia tua, kami sepakat ibuku yang telah ditinggal pergi ayahku beberapa tahun yang lalu, tinggal bersamaku dan berkumpul dengan keluarga dalam sebuah arisan yang dilaksanakan satu bulan sekali.
            Tante Amirah adalah ibunya Ningrum, seorang ibu rumah tangga sejati. Yang memilih stay di rumah merawat anak-anaknya meskipun dia seorang sarjana. Kebetulan ayah Ningrum itu pengusaha kaya yang sukses tanpa dibantu oleh tante Amirah. Tante Amirah yang bersuamikan lelaki kaya itu hanya memiliki anak satu yaitu Ningrum. Karena didikan ibunya yang ‘super duper’ ketat, Ningrum mampu menggantikan posisi ayahnya ketika ayahnya menyatakan sudah lelah mengurus perusahaan. Sampai saat ini Ningrum pun menjadi wanita sukses.
            Tante Jamilah, ibu Rina adalah seorang janda beranak empat. Ada tiga saudara Rina, tetapi hanya dua yang bersama dengan tante Jamilah. Satu abang Rina pergi entah kemana, kudengar kabar dia bersama ayahnya yang pergi tanpa meninggalkan cerita. Tidak ada yang tahu pasti apa penyebab status tante Jamilah yang janda, yang pasti untuk memperjuangkan anak-anaknya tante Jamilah menjadi penjual pecal dan sarapan pagi di daerahnya. Anaknya kebetulan pintar-pintar, Rina bahkan mendapatkan beasiswa S2-nya di Kanada. Sisa hidup tante Jamilah kini berakhir senang bersama Rina dan keluarga kecilnya. Rina memiliki dua orang anak dan suami yang sama-sama bekerja bersama Rina sebagai dosen di Universitas Negeri.
            Tante Naila, ibu Rara adalah seorang wanita yang bersahaja. Tidak banyak cerita, jika kami berkumpul di rumah Rara, ibunya hanya menyapa sesaat ketika membuka pintu rumahnya buat kami. Setelah itu dia hanya diam, lalu menyiapkan makanan buat kami lalu melanjutkan pekerjaannya sebagai penjahit. Meskipun penjahit rumahan, tetapi sangat banyak orang yang menjahitkan baju dengannya. Begitulah ibu Naila membantu perekonomian suaminya yang yang bekerja sebagai buruh pabrik. Karena itu, Rara bersama empat adik-adiknya dapat mengecap pendidikan minimal tamat SMA.
            Yang ini agak berbeda, kami tidak tahu pasti namanya yang kami tahu dia sering disebut Nande Surbakti. Mungkin karena adat dan kebiasaan orang karo yang jarang menyebutkan nama maka Nandenya=emaknya Rika lebih populer dengan sebutan Nande Beru Surbakti. Beliau pedagang buah sukses di pasar induk. Pedagang buah seantero kota tidak ada yang tidak kenal beliau. Tapi ya itu, menurut Rika karena profesinya itu emaknya kerap berangkat pukul 02.00 dini hari di saat orang-orang sedang terlelap dalam tidur dan mimpinya. Begitulah cara nande membantu perekonomian keluarga dalam membesarkan anak-anakny
            Waktu yang disepakati telah tiba, tepat dua jam dari waktu kesepakatan, para ibu yang smart dan semangat itu berkumpul dengan senyum sumringah. Senyum mengembang dengan sejuta pesona. Kami menebak-nebak isi pernyataan yang diungkapkan dari kesepakatan mereka para perempuan-perempuan tangguh yang disebut ibu.
            Tante Naila yang lembut bertindak sebagai juru bicara, sunggu sebuah keputusan yang luar biasa. Karena selama ini Tante Naila tak banyak bicara tetapi untuk ungkapkan rasa beliau berani untuk berkata;
            Dan tahukah apa yang diungkapkan mereka, ibu yang telah melalui liku-liku kehidupan di dunia dengan sejuta cerita suka dan duka. Hal terbesar yang paling ditakutkan mereka adalah ucapan dari papa “Ma, izinkan aku menikah lagi....”.

NB: Cerita dan tempat hanya fiktif belaka. Kesimpulan diambil dari hasil survei para jiran tetangga yang ada di kontrakan dekat rumah.
           
           
           




            

Komentar

Postingan Populer