Memaknai Hidup
“Ikhlas adalah Kunci Kesuksesan Dalam Hidup”
Oleh : Suhartini
Orang-orang di
lingkungan Kel. Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini
memanggilnya”Mpok Tin”. Dari anak balita yang baru pandai bicara, remaja,
ibu-ibu bahkan para manula memanggilnya Mpok Tin, mungkin karena beliau adalah
asli orang betawi dan sudah lama dalam kesehariannya berdagang gorengan dan sarapan
pagi.
Saat
ditanya nama panjangnya, dia bilang ; “
Nama gua Cuma Titin, kagak ade sambungan ape-ape,” katanya dengan logat
betawinya. Mpok Tin yang bertubuh kecil mungil ini selalu ceria dan gembira meskipun secara kasat
mata banyak cobaan yang dilaluinya. Selama lebih dari 10 tahun suaminya terkena
stroke yang membuat tubuh lemahnya harus dirawat dan terpaksa tidak dapat
membantu mencari nafkah. Karena itulah Mpok Tin yang tinggalnya ngontrak di salah
satu kontrakan milik Pak Ngabas harus
berjibaku dengan berdagang gorengan, sarapan serta menyediakan kopi buat
masyarakat yang ada di sekitar lingkungannya. Syukur memang di kontrakan banyak
anak-anak pekerja dan kuliah yang selalu
menggantungkan sarapan pada dagangan Mpok Tin.
Setiap
hari Mpok Tin harus berangkat ke Pasar Minggu pukul 02.30 WIB dini hari, di
saat para jiran tetangga masih terlelap dalam tidurnya. Menurutnya, belanja
lebih pagi akan mendapatkan harga lebih murah. Sekaligus katanya, agar tidak
terburu-buru menyiapkan gorengan yang harus didagangkan.
Meski
terlihat capek hari-hari yang dilaluinya, tetapi Mpok Tin selalu ceria dan
tertawa renyah saat para tetangga bercengkrama di warung kopinya. Begitu juga saat
ngobrol bersama saya. Suatu hari saat saya mengambil cuti bekerja yang menjadi
jatah tahunan, Mpok Tin bertanya mengapa tidak kerja. Saya pun menjawabnya
kalau saya sedang cuti. Mpok Tin bilang enak bisa cuti sedang dia tidak pernah
libur dalam berdagang. “Kasian anak-anak nanti tidak sarapan,” katanya.
Melayani langganan dianggapnya sebagai tugas wajib yang harus di jalankan.
Meskipun hari sedang hujan, Mpok Tin tetap berangkat ke pasar untuk belanja
keperluan dagangan.
Mpok
Tin pernah bilang ke saya; “Gua ini untungnya gampang tidur, setelah sholat
Isya langsung tidur. Kalau sudah tidur ada suara apapun kagak terganggu, dan
karena sudah kebiasaan gua selalu terbangun saat waktunya pergi ke pasar,”.
Mungkin itu adalah anugrah yang diberikan Allah Subhana Wata’allah buat Mpok
Tin.
Suatu
hari ketika para ibu-ibu berkumpul untuk menikmati gorengan buatan Mpok Tin,
ada seorang anak kecil ingin membeli dagangan Mpok Tin dengan membawa catatan.
Saat itu saya diminta membacakan pesanan
yang akan dibeli anak tersebut. Dari situlah saya tahu bahwa Mpok Tin tidak
bisa membaca dan menulis. Sangat miris memang di sebuah kota besar yang
merupakan Ibu Kota Indonesia masih ada warga yang tidak bisa membaca dan
menulis. Meski tidak bisa membaca dan menulis Mpok Tin pandai mengaji, sesekali
di malam Jumat Mpok Tin membaca surat yasin yang katanya diniatkan buah
ibu-bapaknya yang sudah tiada.
Menurut
Mpok Tin pada suatu hari saat saya berbincang-bincang dengannya, dia tidak bisa membaca dan menulis tidak apa-apa
asalkan anak-anaknya mendapatkan
pendidikan yang layak dan tidak bodoh. Saya bertanya tentang apakah tidak
pernah tertipu saat belanja atau menjual dagangan. Dengan polos Mpok Tin
berkata; “Gua nandainya dari jumlah nol dan warna uangnya, Alhamdullilah gua
ngak pernah ketipu, orang gua kagak pernah nipu,” katanya sembari tertawa.
Menjalani Hidup Dengan Ikhlas
Menurut
saya, Mpok Tin pantas menjadi wanita
inspirasi bagi wanita-wanita Indonesia yang mungkin selama ini merasa menderita
karena persoalan ekonomi yang didera. Mpok
Tin, tidak janda, punya suami tetapi dia mencari uang untuk kehidupan keluarga
sekaligus untuk pendidikan anak-anaknya sendiri, nafkah bathinpun sudah pasti
tidak diperolehnya lagi karena suaminya sudah lama terkena stroke. Begitupun
Mpok Tin tidak pernah mengeluh. Suatu hari Mpok Tin bilang; “Kalau gua ma orangnya kagak mikir apa-apa
sejak dulu asal bisa makan dan bayar SPP anak untuk sekolah gua udah bahagia.
Jalani aja hidup ini dengan ikhlas, Inn Syaa Allah semuanya lancar,” katanya.
Mpok
Titin, punya empat orang anak. Anaknya yang sulung tamat Akademi Pelayaran,
yang kedua tamat Akademi Bahasa Jepang, yang ketiga tamat STM serta yang bungsu
saat ini sedang kuliah di sebuah Universitas Swasta ternama di Depok. “Sekarang ma saya sudah enak, anak saya
sering membantu, kuliah si bungsu juga dibayar oleh abangnya,” katanya.
Meski
sudah mendapat bantuan dari anak-anaknya, Mpok Tin tidak mau berpangku tangan,
jualan gorengan yang sudah dilaluinya selama tujuh tahun itu tetap dijalaninya
dengan ikhlas untuk memenuhi kebutuhannya dan merawat kesehatan suaminya yang
harus kontrol ke dokter.
Hasil
yang telah diperoleh Mpok Tin ini bukan datang begitu saja, tetapi dilalui
dengan liku-liku yang panjang. Kepada saya Mpok Tin bercerita tentang masa
lalunya yang sungguh penuh haru tapi diceritakan Mpok Tin dengan tertawa
bahagia.
Dikisahkan,
Mpok Tin lahir tahun 1965, dari seorang ibu yang suka kawin namun selalu
meninggalkan anak-anaknya. “Emak saya 9 kali kawin cerai dan selalu
meninggalkan anak-anaknya,” kata Mpok Tin. Saat usia 11 tahun, Mpok Tin yang
tinggal di Maruya diangkat anak oleh seorang juragan kaya di darah Jati Padang.
Saat itu Mpok Tin hanya sekolah mengaji. Katanya mau disekolahkan lagi, tapi
pada tahun 1976 agak susah mencari sekolah di daerah Jati Padang. Saat berusia
13 tahun, Mpok Tin yang cantik dan mungil sudah disukai para laki-laki. Takut terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan, akhirnya Mpok Tin dinikahkan dengan suaminya
saat berusia 13 tahun. Usia 17 tahun Mpok Tin sudah mempunyai anak satu. Setiap
dua tahun berselang bertambah satu, hingga anak ke tiga Mpok Tin disarankan
mengikuti program KB. Namun katanya Kbnya kebobolan dan lahirlah si bungsu
tahun 1998.
Memiliki
empat orang anak dengan suami yang hanya pedagang es batangan, membuat Mpok Tin
harus membantu perekonomian keluarga. Saat itu Mpok Tin menjadi pembantu rumah
tangga demi untuk menyekolahkan anak-anak. Ada lima rumah tempat Mpok Tin
bekerja, semua uang yang diperolehnya untuk biaya sekolah sedangkan penghasilan
suaminya untuk biaya makan. “Karena itulah sampai saat ini saya ngontrak terus
dan tidak bisa membeli rumah”, katanya sambil tertawa.
Setelah
anak-anaknya besar, ada pula kontrakan yang bisa untuk berjualan, akhirnya Mpok
Tin berjualan gorengan, lontong Jakarta dan kopi untuk sarapan pagi. Hal ini
dilakoninya sudah 7 tahun dan menurutnya penghasilannya lumayan dapat mencukupi
biaya hidup dan prawatan kesehatan suaminya.
Mpok
Tin mengaku tidak pernah mengeluh, dijalaninya hidup dengan ikhlas karena
menurutnya hidup hanya sekali harus dibuat happy (senang) katanya. Cobaan
sering kali datang tetapi Mpok Tin mengaku tetap fokus dengan tujuan hidup,
“Saya tidak mau seperti ibu saya, melahirkan anak lalu ditinggal. Anak itu
titipan dari Allah, biar saya bodoh tapi anak saya tidak boleh bodoh,” katanya.
Selain
cobaan masalah ekonomi, Mpok Tin juga mendapat cobaan dari laki-laki “hidung
belang” saat berada di pasar. Banyak
laki-laki yang mengganggu untuk mengajak kawin lari meninggalkan suaminya yang
sudah tidak berdaya. Tapi Mpok Tin mengaku kekeh untuk setia, karena suaminya
yang bernama Raya adalah pilihannya, serta menikah karena cinta. Dari cinta itu
lahirlah empat orang anak yang menjadi buat hati yang harus diperjuangkan
hidupnya.
Komentar
Posting Komentar