KANDAS
Oleh; Suhartini Samiun
Sepi ini menelisik
Merayap
Menelusuri Rongga Jiwa
Melewati lorong waktu
Lalu tertuju padamu, hanya padamu
Di sini aku baru sadar
Betapa ku mencintaimu...
Bait puisi yang kurang puitis itu
pernah kukirim padanya, pada dia, Alvin
Bakkara. Seorang lelaki berwajah tirus,
berkulit putih, dan berambut gondrong. Ternyata bukan aku satu-satunya
perempuan yang mengirim puisi padanya. Ada Maria, Elprina, Susanti, bahkan
Astuti, cewek cantik di kampus orange tempat kami menimba ilmu. Untung saat itu
aku tidak dipermalukan keadaan, karena puisi itu kukirim bersamaan dengan
puisi-puisi lain dalam moment latihan teater lentera. Lentera, teater kampus
yang menjadi mediaku untuk bertemu dengan Alvin.
“Untuk apa ikut-ikut teater
begituan, buang-buang waktu aja. You kan orang bisnis, waktu adalah uang,” ujar
Sasmita waktu itu. Sebagai fatner
bisnisnya Sasmita mulai gerah dengan
keterlambatanku masuk kantor, jika aku mengikuti latihan teater.
“Ngantuk
lagi, begadang lagi, kapal sudah sandar sejak jam lima pagi, you enak baru
datang jam segini,” omel Sasmita. Aku dan Sasmita punya bisnis pelayanan kapal,
menjadi sub agensi untuk mengisi kebutuhan kapal saat ingin berlayar. Kerjanya
tidak rutin, tapi jika dapat jatah melayani satu kapal saja dalam satu minggu
sudah lumayan untuk membiayai kuliah dan kebutuhan hidupku.
Jika
kapal masuk yang menjadi jatah CV kami, aku, Sasmita dan kru (aku menyebutnya
kru karena tim dalam melakukan pelayanan) bisa tidak tidur dua malam. Dari
kapal sandar di Pelabuhan Belawan sampai pada kapal kembali belayar menuju
tujuan, kadang, Cina, Amerika bahkan Eropah.
Bisnis
adalah bisnis, cinta adalah cinta, sebuah rasa yang selalu bergejolak jika
mengingat nama dan membayangkan wajahnya. Tak bisa dipadukan bisnis mengerti
cinta, sebaliknya cinta membantu suksesnya bisnis. Aku kelimpungan saat harus
mengejar cinta Alvin Bakkara, sedang
jadwal untuk berkerja datang secara bersamaan. Seperti saat itu, hampir
saja aku kejebur ke laut saat mataku tak dapat diajak kompromi karena mengantuk.
Untung Leo, salah satu anak buah kapal menarik tanganku hingga aku selamat.
Masih
kuingat juga saat aku harus bolak-balik bertanya kepada Kapten Kapal tentang
jumlah barang yang dipesan dan telah dibeli. Logikaku runyam, aku hanya bisa
menerima perintah sesuai dengan kondisi keadaan. Padahal sudah ada janji antara
Kapten Kapal dengan perusahaan saat membuat laporan pembelian.
“Ini
ikan Tuna yang dibeli 40 Kg, bukan 60 Kg, aku yang beli tadi di pasar, ini
lagi, ngaco semua ini daftar belanjanya,“ ujarku kepada Sasmita melihat laporan
penjualan yang harus diketik dan dilaporkan. Sasmita mencubit lenganku, Kapten
Kapal yang ada di depan kami hanya melongo, untung dia tidak paham bahasa
Indonesia sehingga perdebatanku dengan Sasmita hanya direspon dengan senyum.
Rasa
kantukku saat itu hampir saja
mengacaukan perjanjian Sasmita dengan Kapten Kapal. Laporan penjualan
yang harus kami tuliskan harus sesuai dengan keinginan Kapten Kapal karena
laporan tersebut akan disampaikan kepada Owner (pemilik kapal). Pembayaran yang
dilakukan sesuai dengan jumlah barang yang dibeli, tidak berkurang dan
bertambah. Entah rugi atau tidak buat perusahaan kami aku dan Sasmita tidak
peduli, yang pasti aku dan Sasmita sadar yang dirugikan adalah owner yang
diuntungkan adalah Kapten Kapal.
Suatu
hari, kala itu senjah mulai merayap menuju malam. Saat mentari beronah merah,
tiba-tiba telepon genggamku berdering. Aku pikir itu dari Sasmita yang akan
melanjutkan marah. Kuabaikan bunyi telepon itu, aku asyikkan hati dan pikiranku
dengan memandang panorama indah persembahan Illahi. “Kerja telah usai, marahpun
tak boleh berlanjut,” pikirku saat itu.
Telepon
terus berdering, bosan aku mendengarkan deringnya, akhirnya hasratku datang
untuk mengangkat. Betapa mataku takjub memandang layar teleponku, ada sebuah
nama tertulis disitu, nama yang setahun belakangan ini selalu menari-nari di
angan dan mimpiku. Alvin Bakkara yang nelpon, duh betapa aku bahagia. Jika ada
warna dihatiku, pastilah berwarna merah
jingga seperti warna matahari yang saat ini sedang kuamati.
“Hai...susah
amat di telepon,” suara Alvin Bakkara dari Seberang.
“Ia,
sorry ada kerja dikit,” ujarku beralasan.
“Ada
apa ya, tumben nelpon ?” tanyaku penasaran.
“Ngak
ke kampus hari ini, aku tunggu-tunggu ngak nongol maka aku telepon,” ujar Alvin
lagi. Hampir saja jantungku berhenti berdetak. Bahagia menguasai relung jiwa,
aku tersenyum-senyum seperti orang gila. Pikirku mulai melayang jauh dengan
sejuta tanya yang tak punya jawaban. Adakah dia rindu, padahal baru satu hari
tidak bertemu, pikirku saat itu.
“Aku
ngak ke kampus hari ini, baru aja
selesai kerja, capek. Kemarin ada kapal
masuk yang menjadi jatah kami,” ujarku menjelaskan.
“Ada
apa ya ?” tanyaku lagi.
“Ntar
lusa, Sabtu malam Minggu, lentera punya rencana mau ke puncak Sinabung, kamu
ikut ya. Kemarin saat latihan teater mau disampaikan kamu buru-buru pulang,
kalau anggota yang lain sudah tau infonya,” beber Alvin menjelaskan.
Tanpa berpikir panjang, tanpa bertanya pada
Sasmita apakah ada tugas yang harus dikerjakan, aku langsung menerima tawaran
Alvin Bakkara dengan senang dan bahagia.
“Oke
aku ikut, kumpul di kampus ya ?” tanyaku.
“Iya,
pukul 14.30 WIB on time, bawa perlengkapan pribadi. Oh ya, satu lagi aku ingin
sampaikan, puisi kamu bagus, kamu punya bakat,” ujar Alvin Bakkara sembari
menutup telepon.
Sabtu
tiga hari lagi karena hari ini adalah Rabu malam Kamis. Tak sabar rasanya
menunggu Sabtu itu. Kata-kata terakhir yang diucapkan Alvin Bakkara ngak pernah
lepas dari pikiranku. Andaikan dia tahu bahwa puisi itu memang untuknya, pujian
itu harusnya dikatakan langsung bukan lewat telepon.
Anganku terus melayang-layang
tak tentu arah, hingga aku disadarkan dengan teguran Namboruku.
“Hai, kenapa kau, dari tadi
namboru tengok melamun terus kau sambil melihat undangan itu, ada apa ? tanya
Namboru sembari menepuk bahuku. Aku terjaga dari lamunanku. Pristiwa
sepuluh tahun yang lalu masih saja
menguasai pikiranku. Cerita itu masih detail tertulis dalam lembar pikiranku,
selama ini diam terkubur tanpa ada yang tertarik membacanya, meskipun lembar
itu menjadi tanya mengapa aku masih tetap sendiri.
Kini setelah sepuluh tahun
berlalu, dia datang kembali, membuatku membuka kembali lembar-lembar memory
yang tersimpan rapi dalam hati. Besok aku akan bertemu Alvin Bakkara, dalam
pertemuan alumni kampus yang akan membuat ikatan alummi sebagai salah satu
syarat akreditasi. Semua alumni diundang dan salah satu kandidat ketuanya
adalah Alvin Bakkara. “Haruskah aku datang ?” tanyaku dalam hati.
#=#
Jam menunjukkan pukul 14.30
WIB, dalam jadwal undangan jam 15.00 WIB aku termasuk alumni yang datang lebih
cepat. Kupandang kampusku, masih seperti yang dulu, hanya ada perubahan dengan
sedikit taman di ruang tunggu mahasiswa. Di pojok sebelah kiri ruang kampus
masih ada ruang sekretariat lentera. Ternyata lentera masih tetap ada sebagai
wadah bagi mahasiswa untuk berkarya.
Anganku kembali menerawang ke
masa lalu, sepuluh tahun yang lalu, di sini, didekat lorong kampus orange ini,
di sekretariat lentera, aku datang pukul 14.00 WIB, dari perintah Alvin Bakkara
untuk datang ontime pukul 14.30 WIB aku termasuk anggota lentera yang datang
lebih awal dari anggota lainnya. Entah kenapa suasana hatiku saat ini, sama persis dengan suasana hatiku sepuluh
tahun yang lalu. Suasana hati yang berdebar-debar ingin bertemu Alvin Bakkara,
pria tampan yang telah membuat aku terpukau. Samar-samar aku melihat sosok yang
tak asing bagiku datang menghampiriku dengan senyum manis yang dimilikinya.
Senyum yang membuat para gadis tiba-tiba pandai membuat puisi.
“Hai...apa kabar ?” sapanya.
Alvin Bakkara. Dia tidak gondrong lagi, dia lebih dewasa. Aku tidak membalas
sapanya dengan kata-kata, tapi senyum yang kupersembahkan padanya telah memberi
jawaban bahwa aku dalam keadaan baik-baik saja.
“Aku dengar kamu tinggal di
Jakarta, cepat juga sampainya ya,” kata Alvin lagi.
“Iya, aku dapat undangan
langsung dari kampus. Kupikir untuk melepas rindu sama kawan-kawan aku harus
datang. Kemarin aku udah sampai, nginap di rumah Namboru di Padang Bulan,”
ujarku menjelaskan.
Kami saling diam, suasana
menjadi hening. Kami seperti dua orang asing yang baru saja bertemu. Terlihat
canggung dan kaku, mestinya banyak yang harus ditanya, karena sepuluh tahun
tidak bersua. Mestinya aku jujur mengatakan rindu, setelah sepuluh tahun
berlalu. Mestinya banyak sudah cerita dan kisah tentang betapa sulitnya
melupakan Alvin Bakkara meskipun sepuluh tahun berlalu.
“Lihatlah ini aku, aku Jelita
Mandasari, alumni ke delapan yang pergi ke Jakarta untuk melupakan kamu.
Lihatlah ini aku, aku masih menyimpan rindu untukmu,” jeritku dalam hati dalam
suasana sepi diantara kami.
Untuk menghalau kesunyian itu,
akhirnya Alvin Bakkara pamit dari hadapanku menuju ruang kantor kampus,
“Aku ketemu Pak Simamora dulu
ya, ada administrasi yang harus aku selesaikan. Kebetulan kawan-kawan meminta
aku untuk mencalonkan diri jadi ketua ikatan alumni,” ujar Alvin. Aku tidak
menjawab, aku hanya tersenyum tanda setuju.
Waktu seperti lamban berlalu,
entah kenapa tiba-tiba aku teringat Sasmita, kawan karibku yang harus
kutinggalkan karena kandasnya cintaku. Sasmita adalah sahabatku, fatner
bisnisku, saudaraku yang sampai saat ini sejak sepuluh tahun yang lalu tidak
ada lagi kabar tentang keberadaannya. Semuanya hancur, bisnisku, hubungan
persahabatnku dan nyaris studiku.
Masih ingat sekali aku, saat
itu, saat kapal dari Taiwan masuk yang menjadi jatah untuk perusahaan kami.
Karena kekacauan yang kutimbulkan akhirnya kami tidak dapat melayani kapal
sesuai yang diharapkan, sampai akhirnya agen yang memberikan perintah kepada
kami akhirnya memutuskan hubungan kerja dengan kami. Putusnya hubungan kerja
itu membuat Sasmita murka dan marah. Begitupun aku tak sadar karena cinta ini
memang benar-benar buta.
“Oke, kalau You memang mau
terus-terusan tidur dan tidak mau bangkit dalam tidurmu, kita selesaikan saja
bisnis ini. Aku udah catat semua keuangan, kita selesai,” ujar Sasmita sembari
mencampakan semua berkas perusahaan dan catatan keuangan.
Saat itu aku tidak perduli,
hidup sepertinya terhenti dengan rasa malu yang ditorehkan Alvin Bakkara
kepadaku. Dan setelah itu diapun berlalu, menghindar dan tak pernah lagi dapat
ditemui. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, saat itu aku masih bertanya
mengapa Alvin menghindariku, mengapa Alvin tak muncul lagi di Lentera, teater
yang amat dicintainya melebihi cintanya pada mata kuliah. Demi lentera Alvin
rela bolos dari kuliah, demi lentera Alvin rela menghabiskan isi dari
dompetnya, dan demi lentera pula Alvin rela menghabiskan malam minggunya.
Semua orang tau banyak yang
menyukai Alvin, para mahasiswi
berbondong-bondong masuk lentera karena ingin dekat dengan dia. Sikap
dinginnya pada wanita membuat satu persatu mahasiswi mundur dari keanggotaan lentera. Alvin tidak
perduli, baginya malam minggu adalah malam untuk mengekspresikan diri dalam
lakon teater.
Teman-teman alumni satu
persatu telah datang, rasa bahagia bertemu teman lama dapat terlihat jelas dari
ekspresi di wajah mereka. Saling tertawa, saling bercanda dan saling berpelukan
membuat suasana menjadi meriah. Waktupun berlalu sampai pada acara puncaknya
yaitu pemilihan ketua Ikatan Alumni, dan Alvin Bakkara pun terpilih menjadi
ketua IKA.
Setelah selesai dengan luapan
kangen-kangenan, satu persatu para undangan pergi meninggalkan kampus, begitu
juga dengan aku. Aku pulang berbarengan dengan Maria, salah satu teman kampus
satu stambuk yang dulu lumayan dekat denganku. Aku pulang begitu saja tanpa pamit dengan Alvin Bakkara yang sibuk
mengajak rekan-rekan alumni untuk menjadi pengurus organisasi itu.
Hari Minggu pagi aku berkemas
untuk pulang ke jakarta, sudah satu minggu aku berada di Medan, cuti yang
kuambilpun sudah selesai. Aku sudah bertemu Sasmita, sudah meminta maaf atas
salah yang pernah ada. Sudah saling berbagi cerita setelah sepuluh tahun tidak
berjumpa. Sudah saling memberi motivasi untuk hidup yang harus berlanjut. Aku
bahagia, karena Sasmita hidup layak dan bahagia, bersuamikan mantan pacarnya
yang memang Sasmita cinta, punya dua orang anak plus usaha mapan sebagai agen
penampung getah di kampungnya.
Saat berpisah dengan Sasmita
aku tau dia khawatir dengan diriku, dan terus bertanya mengapa sampai saat ini
aku belum menikah. Dengan enteng dan tertawa renyah aku menjawab keresahannya
dengan canda.
“Kau kan tau mit, aku ini
sukanya sama Pangeran William, dia sudah meninggalkanku dengan menikahi Kate,
maka lebih baiklah aku sendiri,” kataku sambil tertawa.
Kulihat ada bulir-bulir air
menggantung di kelopak mata Sasmita, nyaris jatuh tapi dia berusaha menahannya.
Mungkin sehari bercanda di rumahnya belum bisa mengobati rasa kangennya,
mungkin dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu kembali denganku, atau
mungkin dia menyangka aku tidak bahagia karena masih mengharapkan cintanya
Bakkara.
“Dont wory, aku bahagia.
Jangan biarkan air matamu membuatku menangis,” pintaku. Kamipun saling melepas
pelukan, melambaikan tangan tanda perpisahan. Setelah hari ini, entah kapan
lagi bisa ketemu dengan Sasmita. Biarlah waktu yang akan menjawabnya.
=##=
Jam menunjukkan pukul 10.00
WIB, pagi itu aku harus berkemas untuk pulang ke Jakarta, pekerjaan sudah
menanti, pertanyaan sudah terjawab. Info yang kuterima dari Sasmita, pasca
perpisahan di Minggu bulan April sepuluh
tahun yang lalu, Alvin Bakkara pergi pulang ke kampung halaman. Mendadak, tidak
ada yang tahu apa yang terjadi dan mengapa dia pergi. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran Alvin Bakkara yang mengendarai
motor butut yang dimilikinya sejak di kampus. Dia masih seperti yang dulu,
masih tetap menggunakan motor honda tahun 70-an yang kami sebut dengan nama
Astuti (Astrea Tujuh Tiga). Entah memang kondisi ekonominya yang membuat dia
tidak bisa membeli motor bagus atau memang cintanya pada astutinya tak lekang
dimakan waktu.
“Hai...!,” sapa Alvin Bakkara dibalik
pintu pagar rumah Namboru. Aku bangkit dari tempat dudukku, membukakan pintu
pagar, lalu mempersilahkan masuk. Untuk sesaat aku berandai-andai tentang
maksud dan tujuan kehadirannya, sampai akhirnya aku disadarkan dengan pertanyaan
Alvin;
“Kapan pulang ke Jakarta,?” tanyanya.
“Ntar sore, penerbangan pukul 16.30 nanti,
“ jawabku, sembari mempersilahkan duduk.
“Semoga aku tidak mengganggu waktumu,
karena ada beberapa penjelasan yang harus kusampaikan padamu,” kata Alvin
memulai pembicaraan.
“Penjelasan tentang apa ?” tanyaku tak
mengerti. Selama sepuluh tahun ini tidak pernah ada intraksi dan komunikasi mengapa
harus ada penjelasan pikirku.
“Tentang mengapa aku tidak bisa menemuimu,
tentang pristiwa malam itu di Sinabung, tentang mengapa aku harus cuti sebelum
membuat skripsi,” kata Alvin.
“Cukup...!” cegahku.
“Itu masa lalu, aku sudah lupakan semua,
semuanya. Semua yang ada di Medan ini, dan aku sudah punya cerita baru dalam
hidupku,” lanjutku lagi. Alvin terdiam, matanya yang tajam seperti mata elang
mulai menunduk. Kami saling diam, tanpa kata sampai akhirnya Alvin kembali
melanjutkan kalimatnya;
“Maaf, aku merasa bersalah, atas salahku
ini mestinya aku datang meminta maaf samamu sejak dulu. Tapi aku malu dan tak
berani untuk mencari tau kemana dirimu setelah lulus dari kampus. Aku setahun
kemudian baru balik ke Medan untuk melanjutkan skripsi yang tertunda,” bebernya
tanpa diminta.
Aku diam, menyimak ceritanya yang
sebenarnya tak ada gunanya samaku. Tapi aku harus jujur, kehadirannya hari ini
membuat aku bahagia. Setidaknya tujuanku untuk ketemu dia dengan dalih
menghadiri acara alumni adalah alasan mengapa aku ke Medan. Dari Susmita aku
tahu tentang Alvin Bakkara, tentang sepak terjangnya di Medan, tentang
pernikahannya, tentang rumah tangganya, tentang kegalauan dalam kemelut rumah
tangganya. Tapi aku tidak perduli itu semua, yang pasti aku sudah ketemu itu
cukup, karena alasan dia menghilang sudah kuketahui dari Maria, sepuluh tahun
yang lalu.
“Aku merasa berdosa, sepanjang hari aku
menyumpai kebodohanku, sepanjang waktu aku menyesali keciutan nyaliku.
Sepanjang tahun aku selalu ingin ketemu samamu untuk meminta maaf,” ujarnya
lagi. Aku masih diam, menyimak, mendengrarkan kalimat yang pelan sekali keluar
dari mulutnya.
“Sampai sekarang aku belum punya anak, di
usia perkawinanku yang sudah sepuluh tahun. Aku tak yakin kau tega menyumpai
aku, tapi aku merasa bersalah dan ikhlas menerima cobaan ini,” katanya lagi.
“Demi Tuhan aku tidak pernah menyumpaimu,
menyumpai siapapun, karena tak ada yang pantas untuk disumpain. Jika kau belum
dikaruniai anak mungkin karena belum rezeki,” potongku sebelum Alvin meneruskan
kata-katanya.
“Ya, aku tahu itu. Tapi kata maaf ini
harus aku sampaikan, tentang....”,
“Cukup..!” potongku lagi.
“Jangan mengingatkan cerita kita apalagi
tentang peristiwa malam itu,” ujarku.
Masih kuingat saat itu, sepulang dari
Sinabung, sepulang acara lentera yang mengajak anggotanya mengungkapkan rasa,
sebegitu juga rasaku, bukan hanya dalam puisi, atau lakon teater yang
disutradarai. Tetapi rasaku menari-nari bahagia, meliuk-liuk bak penari balet
menemukan pasangan. Bahagiaku tak terkira, cinta yang ada dalam rasaku
sepertinya terbalas sudah di malam itu.
Tak sabar menunggu sore, kuhabiskan siang
dengan mengendarai kereta (sebutan untuk sepeda motor di Medan) keliling Medan.
Kutemui Rika, kukatakan padanya aku sedang bahagia. Kutemui Maria, kusampaikan
padanya betapa malam itu adalah malam yang sempurna. Bahkan kutemui Evi,
asisten dosen yang tak pernah peduli dengan kegiatan lentera, kukatakan padanya
betapa lentera membawa sejuta makna. Sampai akhirnya sore pun tiba, saatnya
menuju kampus orange, kampus dimana aku menemukan cinta, kampus dimana aku
memahami makna rindu, kampus yang mengajari aku tentang hidup, bahwa hidup
bukan hanya untuk kerja dan kerja.
Sesampainya di kampus, mataku sibuk
mencari sosok lelaki berwajah tirus, berkulit putih, bermata elang. Di
sekretariat lentera tak ada, di kantin tak ada, di warung mpok Atik juga ngak
ada. Hari itu tidak kutemukan dia, begitu juga dengan hari esoknya, minggu
depannya bahkan satu bulan kemudian. Dari civitas akademika akhirnya aku
mendapatkan kabar, Alvin telah mengambil cuti dari studinya untuk satu semester.
Kandas sudah harapan, impian bahkan
angan-angan bersama Alvin. Dia tidak pernah mengucapkan cinta, tidak pernah
ucapkan komitmen kebersamaan apalagi janji. Malam itu sepertinya hanya malam
yang datang tiba-tiba dan akhirnya pergi bersama hembusan angin malam. Angin
itu bahkan tidak berlanjut sampai pagi, sepoi-sepoi berikutnya hanyalah
halusinasi yang kumiliki. Betapa malunya aku saat itu. Rasa malu dan kecewa itu
telah kutebus dengan meninggalkan Kota Medan, meninggalkan bisnis yang sedang
berkembang pesat bahkan meninggalkan sahabat.
Seputuh tahun berlalu, aku
sepertinya sudah melupakan semua cerita tentang Alvin, karena setelah itu ada
beberapa nama yang singgah dalam hari-hariku. Ada Rangga, ada Khairul bahkan
ada Fazar, pariban dari Siantar yang dikenalkan opung. Mereka semua sudah mampu
membawaku merancang masa depan, bahkan merajut asa serta berkomitmen untuk
hidup bersama. Tapi entah kenapa semuanya kandas dalam perjalanan.
Fakta mengapa Alvin pergi tanpa kabar saat
itu sudah digerus oleh waktu. Untuk
perjalanan cintaku yang saat ini masih juga kandas di tengah perjalananan, aku
menyimpulkannya bahwa ini adalah Biografi dari Tuhan yang disebut dengan kata
Takdir. Begitu juga dengan Alvis yang belum punya anak, itu juga Biografi dari
Tuhan dalam balutan cerita kehidupan yang disebut Takdir.
Ketika Alvin bersikeras untuk melanjutkan
kata-katanya, dengan tegas aku mengatakan. “Sudahlah, masa lalu biarlah menjadi
masa lalu. Satu yang harus kau pahami. Jangan pernah bertanya, mengapa aku
belum menikah, begitupun aku takkan pernah bertanya, mengapa kau belum punya
anak. Dua pertanyaan itu adalah hak mutlak Allah, Tuhan Yang Maha Esa,”.
(Selesai, cerita ke-2)
Komentar
Posting Komentar