Cintaku Terguling di Danau Linting

 

Sumber Foto : Goegle.com

 

     Pagi itu di hari Sabtu aku berjalan menelusuri trotoar kampus yang sepi, karena pandemi perkuliahan tak lagi berjalan seperti biasa. Stay at Home, kuliah pun daring dan aku datang hanya untuk mengantarkan hasil  skripsi yang sudah dijilid.

Di pojok ruang kampus di bawah anak tangga,  ada sebuah ruang yang tak pernah sepi meskipun pandemi, sebuah  ruang berkumpul para civitas akademika yang mencintai alam, mereka menyebutnya ruang “Akonak”. Mereka acap kali pergi menelusuri tempat-tempat wisata yang indah, bahkan tempatnya kadang sangat asing  di telinga dan tak popular bagi masyarakat  umum,  tetapi aku sering melihat hasil  foto-foto perjalanan mereka yang sering dipajang di Mading Kampus.

     Melewati lorong kampus itu, mataku tak pernah luput dari pandangan ruang mungil di bawah anak tangga, ekor mataku selalu menelisik mencari-cari sosok pria tampan berkumis tipis yang kepalanya selalu dibalut kain sal. Dia adalah Fajar, sosok pria yang menjadi idaman setiap gadis kampus karena sikapnya yang “humble”, supel, ramah dan murah senyum. Dia ketua di Akonak, dan karena pribadinya yang baik itu setiap mahasiswi dengan senang hati bergabung di perkumpulan itu, tapi aku tidak. Aku kenal Fajar dari cerita manis sahabatku Mitha, aku mencuri tahu tentang Fajar diam-diam lalu tumbuh rasa bahagia jika dia menyapa. 

     “Hai Carla, ngapain ke kampus ?,” sapa Fajar saat itu. Hatiku berdegub kencang, bergemuruh bagai cuaca mendung tak kala hujan akan turun, karena salah tingkah aku menjawab sekenanya. “Aku antar skripsi….,” jawabku singkat. Aku berharap Fajar menahanku untuk berlalu, lalu mengajak cerita apa sajalah yang membuat aku dapat bersamanya, atau bercerita tentang Mitha yang kabarnya sudah pergi dari hari-harinya.

      “Kami mau kemping pekan depan, Carla ikut yuk, lagian sebentar lagi kamu kan mau wisuda,  kita pasti bakal susah ketemu,” kata Fajar mengiringi langkahku.

     “Kemana ?” tanyaku malu-malu dengan harap ada jawaban panjang yang membuat langkahku tertahan.

     “Ke Danau Linting,” jawabnya, lalu mengajakku duduk di teras kampus dengan berjarak mematuhi protokol kesehatan.

     Kemudian, dengan menggebu Fajar menjelaskan tentang Danau Linting, sebuah tempat wisata lokal di Kabupaten Deli Serdang yang menurutnya tempat yang asyik buat kemping.

     "Danau Linting adalah sebuah danau yang terbentuk akibat retakan vulkanik bukit yang mengeluarkan air panas. Danaunya kecil tidak seluas Danau Toba, luasnya hanya satu hektar sehingga kita bisa menelusuri semua tempat nanti di sana , selain danau ada tiga gua di sana, ada gua emas, perak dan gua untuk tempat mandi Putri Karo,” paparnya bersemangat menjelaskan.

Aku memandang wajahnya dengan seksama, wajah yang begitu tampan. Kumis tipis di bawah hidungnya yang bangir menambah ketampanannya.  Fajar masih melanjutkan penjelasannya tentang Danau Linting yang indah, agar aku tertarik ikut bersamanya. 

     "Ada nuansa mistis di balik cerita Danau Linting, konon kedalaman Danau Linting tak dapat diukur dan diterka  karena itu pengunjung hanya boleh mandi dipinggiran tak boleh ke tengah, airnya hangat , sehingga jika  pada  pagi hari  akan terlihat asab mengempul di danau itu,”  paparnya kembali menjelaskan.

     Aku sudah beberapa kali ke sana, lanjut Fajar, bersama Mitha. Aku sangat suka dengan hangatnya air danau. Meski berasal dari vulkanik tetapi aroma belerang tidak terlalu menyengat seperti air panas di Berastagi maupun Penen. Suasananya begitu Asri, pepohonan mengelilingi danau, masyarakatnya ramah, jajanan yang disediakan adalah jajanan kampung yang murah.

     "Pendeknya Danau Linting adalah tempat yang tepat untuk kita menghilangkan kepenatan setelah seminggu bergulat dengan kesibukan kuliah dan tugas kampus," ujar Fajar.

     Setelah menjelaskan panjang lebar tentang Danau Linting, Fajar terdiam sejenak, akupun terdiam, kami saling membisu. Suasana menjadi sepi bagai tak berpenghuni. Untuk memecahkan suasana  aku pun bertanya . "Siapa aja yang mau berangkat ?," 

     Fajar tersenyum, pertanyaanku memberikan harapan bahwa aku bersedia ikut, padahal selama ini aku tak pernah pergi jika harus menginap, karena papaku tak pernah memberikan izin. 

     "Kita nanti berenam, karena tendanya hanya muat untuk berenam. Aku, kamu, Anton, Handri, Winda  dan Aniqa," ujarnya bersemangat.

     "Aku belum bisa memastikan ya, harus pamit dulu sama papa, aku upayakan, tapi By The Way Mitha nggak ikut ?”, tanyaku sekaligus menyelidik. Fajar terdiam, sepertinya dia belum dapat menyiapkan jawaban soal itu, padahal aku sudah mendapat kabar dari  Mitha kalau Fajar dan Mitha sudah putus hubungan. Penyebabnya adalah kesalnya Mitha karena Fajar tidak pernah serius soal kuliah, semua teman satu angkatan sudah mengajukan judul skripsi tapi Fajar belum juga, dia asyik dengan hoby travelingnya. 

     "Sudah lama aku nggak ada kontak sama dia, dia bilang dia tidak mau diganggu karena lagi serius menyelesaikan skripsi, tapi aku tahu dia sudah punya teman yang nyaman untuk jalan," ujar Fajar dengan suara parau. 

     "Okelah, aku kasih jawaban besok ya, ntar malam aku minta izin papaku," jawabku untuk memutus cerita duka Fajar. Terus terang aku takut Fajar meminta bantuanku untuk memperbaiki hubungannya dengan Mitha, dan aku jadi kehilangan kesempatan untuk dapat  bersamanya.

     Fajar tersenyum manis, lalu berdiri, tanpa menghiraukan protokol kesehatan dan entah mendapat  kebenarian darimana dia menggenggam tanganku, meminta kepastian agar aku bisa ikut. Aku mulai resah dengan genggamannya, merasa kikuk, aliran darah dalam tubuhku mulai berdesir, sungguh tak dapat dilukiskan dengan kata-kata betapa aku suka suasana ini. Dan dalam diam aku mengangguk.

=##=



     Malam itu di meja makan saat kami makan malam bersama, kukumpulkan keberanian meminta izin ke Papa untuk pergi kemping ke Danau Linting.

     “Pa, Carla mau minta izin sama Papa, sekali ini aja Pa. Carla sudah mau sarjana, selama ini Carla tidak pernah berkumpul dengan teman-teman kuliah,” ujarku sedikit memelas.

     “Mau kemana ?,”  tanya Papa yang sudah selesai dengan makan malamnya.

     “Mau kemping Pa, ke Danau Linting,” ujarku .

     “Dimana itu Danau Linting ?, tanya Papa lagi penuh selidik.

“Danau Linting itu ada di Desa Sinembah Kecamatan Tanjung Muda Hulu Deli Serdang Sumatera Utara, nggak jauh pa, hanya 50 kilometer jika dihitung dari titik nol Kota Medan dan jarak tempuh hanya satu jam setengah,” ujarku menjelaskan. Kemudian papa berjalan ke ruang tamu meninggalkan meja makan, aku mengikuti sembari menjelaskan alamat lengkap Danau Linting.

    “Apa sih istimewanya Danau Linting, namanya aja masih asing, kok itu pula yang menjadi pilihan untuk kemping ?,” tanya Papa lagi .

“Katanya tempatnya asyik Pa, air danaunya panas tetapi tidak ada bau belerang, tempatnya asri karena di area danau dikelilingi oleh pepohonan hijau, di sekitar danau ada beberapa gua yang bisa dijadikan destinasi sejarah yang konon katanya memiliki cerita tentang putri Karo,” ujarku dengan semangat  menjelaskan.

     “Boleh ya Pa…!,” pintaku lagi.

    “Ya sudah, tapi yang paling penting jaga diri dan jaga amanah dari Papa,” kata Papa yang disambut dengan sorak bahagiaku. Aku, Sarjana Komunikasi yang baru lulus bersorak  seperti anak baru lulus SMP yang sangat  girang karena diizinkan ikut wisata perpisahan.

=##=

   

     Aku baru saja mau menelpon Fajar untuk memberi kabar kalau pekan depan aku bisa ikut kemping, sebuah pengalaman baru yang akan aku jalani bahkan dengan lelaki yang telah mencuri hatiku dua tahun lalu hingga membuat hatiku terkunci untuk laki-laki lain.  Bahagia hatiku tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, tak sabar menunggu watu cepat berlalu hingga menjadi pekan depan.

     Lamunanku tentang serunya kemping pertama yang akan aku jalani buyar seketika ketika mama memanggilku dengan memberikan kabar ada Mitha di ruang tamu. Aku bergegas keluar, rasa penasaran bergelayut di pikirannku atas kehadiran Mitha di malam Minggu, biasanya Mitha sahabatku yang cantik itu selalu punya teman untuk membelah malam di malam Minggu. Begitupun minggu-minggu sebelumnya setelah Mitha putus hubungan dengan Fajar, ada Bram teman SMP kami yang mengisi malam minggunya menggantikan Fajar.

     “Eh Mitha, tumben malam minggu main ke rumah,” tanyaku penasaran.

     “Iya Car, aku dengar kalian mau kemping sama anak Akonak, aku dengar kau juga mau ikut, apa betul itu ?,” Tanya Mitha.

     “Iya…., aku baru dapat izin dari Papaku, dan Alhamdulillah diberi izin, ini kali pertama aku diizinkan pergi menginap,” jawabku bersemangat.

     “Apa Mitha mau ikut ?,” tanyaku mulai resah dengan jawabannya.

Mitha diam, lalu dia pindah duduk di sampingku dan meraih tanganku, dengan wajah  sumringah  Mitha berkata. “Aku mau ikut, aku mau buat surprise untuk Fajar, aku mau balikan sama dia, kudengar dia sudah mengajukan judul skripsi dan sudah di acc dosen. Tolong keinginanku ini sampaikan ke Fajar,” ujar Mitha yang membuat aku diam terpaku tanpa dapat berkata-kata. Speechless.

     “Lalu Bram….?,” tanyaku.

     “Aku sama Bram cuma berteman, nggak ada niat duakan Fajar,” ujar Mitha makzleb di hatiku. Aku diam, lalu aku mengangguk tanda setuju.

    “Oh ya, tapi aku datang sore ya….,” kata Mitha menutup kata menggores luka.

=##=

      Pesan dari Mitha tersampaikan sudah pada Fajar, saat itu Fajar terdiam mendengar penjelasan tentang sahabatku itu. Hatiku semakin galau ketika Fajar mengatakan sebenarnya hatinya mulai berpaling dan ingin menggapai asa bersama denganku. Ajakannya ke Danau Linting katanya hanya sebuah langkah untuk mulai mendekat dan ingin saling mengenal.

     Sore itu ketika cakrawala mulai meninggalkan surya menuju senja, Mitha datang dengan senyum terkembang, kulihat Fajar di sampingku bangkit dan membalas senyumnya. Kutelisik wajah Fajar, ada semburat rindu terpancar di matanya, begitu berbinar, berlahan bahkan bola matanya yang kecoklatan itu berembun. Aku cemburu dengan pemandangan itu. Di sini aku mulai sadar bahwa cintanya buat dia sahabatku yang cantik dan manis,  bukan buatku.

     Sadar diri akupun berpaling pergi, meninggalkan mereka berdua untuk saling mengungkap rasa hati. Bathinku berkata, baru saja Fajar hendak mengungkapkan rasa, dan akupun datang untuk menyambutnya tapi perjalanan persahabatan membuat hatiku sadar, cinta tak mungkin dikejar. Kuputuskan berhenti di sini, saat ini dalam suasana sepi hatiku benar-benar sadar, aku lebih baik pergi  lalu akan kucatat dalam diary : “Cintaku Terguling di Danau Linting,”. (Suhartini Samiun).

 

 

Komentar

Postingan Populer