Cinta Yang Begitu Dungu


Sore itu kamu datang bersama dia, pria yang baru aku kenal dua minggu  yang lalu saat pergi menonton film India "Aankhen ". Aku terpana karena sahabatku ikut juga bersamamu. Entah ini kebetulan atau sesuatu yang sudah direncanakan. Semakin yakin aku itu direncanakan karena kau datang membawa makanan ringan dan kacang asin kesukaanku.

"Aku itu senang main ke rumahmu, sawah dan ladang yang membentang membawa suasana tenang," ujarmu.

“Oh ya, aku bawa Fazin, dia penasaran pengen tahu rumahmu dan sebuah kebetulan Mitha juga ada waktu menemani," . Kemudian kamu berbisik di tengelingaku . "Kamukan tahu dari dulu aku suka sama Mitha,". 

 Aku diam, tersenyum menyambut kehadiranmu  bersama Fazin yang sempat berkirim surat lewat Mitha buatku. Fazin cowok yang saat itu mengganggu konsentrasiku menonton film yang diperankan Govinda,  karena aroma bau tak sedap yang ditimbulkannya, untungnya aku sudah kedua kalinya menontong film itu.

Masih kuingat saat itu, aku mencari cari sumber bau, kupikir itu bau kentut yang dikeluarkan Mitha yang duduk di samping kananku. Ternyata tidak, bau aroma seperti belerang busuk itu ternyata dari tubuh pria yang duduk di samping kiriku. Tak peduli dengan  bau ditubuhnya, dia malah menyodorkan tangannya dan memperkenalkan diri bernama Fazin. Untuk menjaga perasaannya saat itu, dalam suasana remang-remang bioskop aku meminta Mitha untuk duduk di sampingnya, untung Mithanya mau karena bau belerang itu masih samar samar mendarat di hidung Mitha.

 "Sebentar ya, aku mau ke toilet dulu," kata Mitha tiba-tiba dan aku tahu pasti Mitha tak sanggup duduk di sampingnya. Cepat-cepat kuletakkan tas ransel di bawah kakiku di bangku yang ditinggalkan Mitha. Aku benar-benar tak sanggup jika harus duduk tepat disampingnya, aku yakin Mitha pun sependapat denganku. Betul saja sampai film selesai Mitha tak kembali lagi dari toilet.

 Aku benar-benar pusing saat itu, pusing dalam rasa bukan pusing di kepala. Kalau pusing di kepala mungkin minum obat nyeri pasti hilang tapi pusing rasaku ini mengakibatkan kebingungan saat Fazin mengajak kami makan usai nonton. Mitha yang saat itu lapar langsung menyambut ajakannya. Akhirnya pergi juga kami makan lalu Mitha pun bertukar alamat sebagai imbalan terima kasih sudah dibayarin.

 Seminggu kemudian tepatnya malam Minggu, Fazin datang ke rumah Mitha,  dan Mitha berkabar padaku bahwa  Fazin ingin tahu dimana rumahku. Aku langsung bermohon sama Mitha agar tidak memberi tahu rumahku. Tapi betapa terkejutnya aku, dia datang bersama Mitha dan Anton di hari Minggu .

 "Carla, kamu jangan melamun aja donk, nggak kau ajak kami masuk," kata Anton. Seketika lamunanku terbang bagai layang-layang putus dari benang.

 Aku tersenyum kecut, tiba-tiba lidahku keluh dan tak dapat mengeluarkan kata-kata, aku memang begitu bodoh jika di dekat Anton . Pria manis berkumis tipis itu memang selalu membuat aku dungu jika bertemu, menimbulkan degub jantung yang begitu kencang, kemudian  degub jantung itu menyumbat aliran darah yang mengakibatkan ujung jari tangan dan kakiku menjadi dingin.

Mitha tahu pasti saat itu aku sedang salah tingkah, kemudian Mitha menarik tanganku pergi menghindari Anton dan Fazin.

 "Kalian duduk dulu ya, kami buat teh manis dulu bentar", ujar Mitha. Sembari berlalu menuju dapur. Dan kami pun saling berdebat.  

 "Gila kau Mitha, kenapa kau bawa si Fazin ke rumahku. Kau kan tahu dia suka sama aku, bisa-bisa setiap Minggu dia datang," kataku protes saat itu.

 "Anton yang ajak, aku nggak bisa nolak. Lagian si Anton ada mau ngomong sesuatu samaku katanya. Udahlah santai aja,  aku lagi suntuk nie ngejomblo, mau jadian aku sama si Anton malam ini," ujar Mitha santai.

 Aku terdiam membisu, sahabatku yang satu ini kerap kali menyakiti hatiku tapi entah kenapa kerap kali pula aku selalu bercerita tentang rasaku.

 "Kau mau jadian sama Anton ?", tanyaku menyakinkan pernyataannya yang kuanggap sebagai pernyataan gila.

 "Iya, kenapa. Kan udah kubilang samamu Anton suka samaku sejak SMA, tapi aku suka sama temennya makanya kami berpisah. Dua tahun sudah berlalu Carla, temen Anton juga nggak berani menerima aku karena segan sama Anton, udah ah, santai ajalah, " ujarnya membuat aku terperangah dengan kata-katanya.

 "Terus bagaimana dengan aku," batinku bertanya. Bukankah Mitha tahu aku suka Anton, laki-laki itu cinta pertamaku. Cinta yang ada dalam sebuah rasa yang tak pernah terungkap sebab sahabat Anton menyukaiku. Dan tentang rasaku ini, aku pernah bercerita sama Mitha ketika kami berdua ngobrol soal laki-laki yang bisa datang dalam hidupku. Aku begitu selektif menerima laki-laki, bukan karena sombong, tapi aku lebih memilih sendiri daripada bersama laki-laki yang membuat aku tidak nyaman. Berbeda dengan Mitha, gampang kali jatuh cinta dan jika bosan ditinggalkannya. Aku tak pernah melihat Mitha menangis karena diputuskan cinta atau memutuskan cinta. Baru dua tahun aku mengenalnya sudah kuhitung ada empat laki-laki yang datang silih berganti menyatakan cinta.

 

"Ada dulu temanku di sekolah masa SMP, aku suka dengan dia. Rasa sukaku membuat aku bersemangat ke sekolah. Tapi sepertinya temannya suka samaku jadi aku tak berani juga dengan dia," ujarku saat itu pada Mitha.

 "Anak mana, terus sekarang dia dimana?," Tanya Mitha saat itu.

 "Anak Gaharu, Merpati Tiga, Anton namanya. Setahuku setamat SMP dia lanjut ke SMA Muhamadiyah," ujarku menjelaskan dengan rinci. Aku tahu betul perkembangan Anton  karena teman sebangku aku adalah tetangganya.

 "Astaga, nanti Anton temenku," ujar Mitha saat itu dengan menyebutkan ciri-ciri Anton yang pas banget dengan Anton yang aku maksud.

 "Aku temen SMA nya, dia dulu suka sama aku. Sempat pacaran kami, tapi setelah kubilang aku suka  sama kawannya, diapun menjauh," kata Mitha sembari tertawa lebar sehingga giginya yang putih dan rapi terlihat.

Aku tak percaya dengan penjelasannya saat itu, dan untuk menyakinkan diajaknya aku kerumahnya. 

 "Hai dek, apa kabar. Tumben main ke rumah udah lama nggak pernah datang," ujar Anton saat membukakan pintu buat kami saat itu. Aku terperangah memandang sosok lelaki yang ada di balik pintu itu. 

"Ya ini Anton, Anton temen SMP ku," ujarku dalam hati. Pastinya dia Anton ditandai dengan degup jantungku yang tak menentu.

 "Hai, kenal dia ?".

"Carla, kok adek bisa kenal Carla ?", tanya Anton.

"Dia tetangga kakak iparku, aku sekarang berteman dengannya," ujar Mitha yang melirikku dan mengerlingkan matanya begitu nakal menggodaku. Aku melihat Mitha tersenyum puas telah membuktikan Anton adalah mantan kekasihnya. 

Dan sejak saat itu, Anton dan Mitha sering bermain ke rumahku. Rumah yang tenang di tengah ladang.

 Aku masih nggak habis pikir jalan pikiran Mitha, dia tahu aku suka Anton dan tak suka Fazin, tapi dua laki-laki itu dibawanya ke rumahku.

 ”Kita ngedate malam ini. Aku sama Anton, kamu sama Fazin," ujar Mitha enteng se enteng angin berhembus sore ini.

 "Gila kau, aku bisa mati dekat si Fazin, aromanya itu," kataku.

 "Tenang, nanti kusuruh dia ke warung beli Hipka. Sumpah bau badannya kayak tukang becak yang tidak mandi satu Minggu," ujar Mitha tertawa. 

 Sakit hatiku dengan ucapan Mitha, aku tahu dia tidak pernah serius dengan Anton tapi dia juga tidak merelakan Anton bersamaku, rasa sukaku sama Anton disimpan rapi tanpa diketahui. Entah apa yang ada dalam pikiran Mitha sehingga dia merencanakan ngedate bersama.

 "Dek, kok lama kali buat teh manisnya," suara Anton memanggil dari ruang tamu. Panggilan manis buat Mitha yang membuat hatiku seperti disembilu. 

 "Iya bentar, airnya belum mendidih," ujar Mitha.

 Waktu senjah merayap pergi meninggalkan cakrawala merah di bawah garis matahari. Sore akan menjadi malam, kemudian malam yang direncanakan Mitha untuk ngedate bersama pun tiba. 

Anton dengan wajah berbinar cinta mengajak Mitha pergi menjauh, mengajak duduk di bawah pohon rambutan yang agak jauh dari rumah panggung kami. Di sana memang disediakan bangku panjang untuk duduk buat orang-orang yang hanya ingin sekedar berteduh jika cuaca panas.

 Kulirik wajah Fazin yang tersenyum senang, pikirnya malam ini dia akan dapat mengungkapkan rasanya langsung padaku .

" Udah terima surat dari Mitha ?," tanya Fazin.

 "Belum, tapi Mitha sudah bilang dan membacanya. Maaf Fazin, aku nggak bisa menerimanya. Aku belum mau pacaran masih mau fokus kuliah. Kasihan bapak ibuku bersusah payah menguliayakan aku jika aku harus pacaran. Berteman boleh, tapi pacaran aku nggak mau," ujarku langsung hingga membuat Fazin menjadi salah tingkah.

 "Udah santai aja, kamu di sini aja, kita tunggu Anton dan Mitha," ujarku.

 Di bawah pohon rambutan di remang cahaya rembulan kulihat Anton dan Mitha duduk rapat, terlihat jelas tangan Anton melingkar di pinggang Mitha . Pedih hatiku melihat pemandangan seperti itu, tapi bodohnya mataku tak mau melepas objek pandang itu. Berlahan samar-samar kulihat mereka semakin mendekatkan wajah mereka masing-masing, berdesir darahku karena cemburu, memerah wajahku karena marah .

 Suara jangkrik yang bersahutan secara berulang-ulang menandakan malam sudah semakin larut. Kuminta Fazin memanggil Anton agar mereka pulang, karena bapak dan mamakku bertanya tanya dimana Mitha dan temannya.

 Suara cicak di balik jam dinding menjadi saksi bisu keputusasaan hatiku. Aku benci dengan suasana ini, jika aku tidak marah pada Mitha, malam Minggu depan ini pasti akan terulang lagi. Tapi jika aku marah pada Mitha pasti Anton takkan mungkin datang lagi.

 Malam itu berlalu, dua lelaki itu telah pergi, kata Mitha besok mereka akan datang lagi mengajak nonton film India kesukaanku. Dan aku hanya bisa tertunduk menyesali rasa cinta dunguku.

 

September 93’
Mengingat Film "Aankhen " yang diperankan Govinda tahun 1993 di Bioskop Irama Kampung Baru Medan-Sumatera Utara.  

NB : Nama tokoh dan cerita hanya fiksi belaka, mengisi waktu kosong masa Covid....
 


Komentar

Postingan Populer