Qurban Yang Tertunda


           
         Aku terperangah membaca pesan whatsApp dari kerabat dekat yang ada di seberang pulau. “Tolong jaga lisan om, lisannya telah melukai hati ibuku dan membuatnya sakit”, itu pesan whatsaAppnya . Dan lebih mengejutkan  lagi pesan itu datang dari seseorang yang selama ini sangat santun dan berbudi.
“Ini pasti ada yang tidak beres, ada apa ini,” pikirku seketika. Kupandang wajah suamiku yang sedang asyik bermain Handphone  di depan televisi. Kulihat wajahnya berkerut, kemudian dia bangkit mematikan siaran televisi lalu berjalan  menuju kamar. Mataku terus  menguntit gerak langkahnya sampai kamar. Di kamar dia rebahan kemudian menyetel siaran youtube UAS tentang makna berkurban,
            “Bang, abang ada sms apa sama Yuni,” tanyaku.
            “Yuni siapa ?, nggak ngerti abang maksud  adek,” ujarnya datar.
            “Yuni anak Unilah, siapa lagi ?, ujarku menjelaskan.
            “Nggak ada,” jawabnya lagi
            “Kenapa Yuni kirim sms kayak gini sama adek,” ujarku sembari menyodorkan handphoneku padanya. Dengan malas dia mengambil handphoneku lalu membaca pesan whatsapp   Yuni di handphone.  Setelah membaca pesan itu dia mengembalikan handphoneku, lalu diam tanpa kata tanpa ada jawaban dari pertanyaanku.
            “Apa sih yang abang bilang, kok dia sms gitu ke adek,” tanyaku lagi penasaran. Dan aku juga perlu tahu,  untuk memberikan balasan jawaban sms  dari orang yang tak lain adalah kemanakan dari suamiku itu.
            “Nggak ada,” jawabnya lagi
            “Pinjam dulu handphone abang,” ujarku sambil menyodorkan tanganku. Diapun menyerahkan handphonennya. Kutelusuri pesan-pesan yang dikirim suamiku yang selama ini tidak pernah kulakukan. Tidak ada pesan apapun ke nomor Yuni. “Atau mungkin sudah dihapus pesannya,” pikirku lagi.
            Kuteruskan menelusuri hingga pesan ke nomor  abang Yuni, hatiku terdetak.
“Ini pasti sumber masalahnya, kalau aku berada di posisi mereka aku juga pasti akan tersinggung tetapi  aku tahu karakter suamiku, dia tak pernah mau mengusik orang lain jika dirinya tidak terusik,” ujar hatiku.
“Abang kok tega sih kirim sms begini sama saudara, mereka pasti sakit hatilah bang. Si Yuni yang kalem dan santun itu sampai berani merintah adek nyuruh abang menjaga lisan abang,” ujarku sedikit merepet.
“Kitakan sudah clear soal ini bang, mau dibahaspun percuma, sudah terjadi. Berdoa saja supaya kita berezeki lebih sehingga dapat mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah,” sambungku lagi. Seperti biasa dia tetap diam tanpa ada jawaban.
“Dari dulu itu terus masalah sama keluarga, bosan adek dengernya. Ujung-ujungnya adek yang disalahkan, seakan-akan adek yang ngompori padahal adek nggak pernah tahu perbuatan abang. Ngomong bang, jangan diem aja,” tambah-tambah repetanku sehingga anakku ikut nimbrung.
“Ada apa sih mak, bising kali repetan mamak, besok lebaran mending takbiran atau stel musik takbiran,” ujar Yusri anakku.
“Ayah kakak itu, entah ngapain kirim sms kayak gitu, akhirnya mamakkan yang kena dampaknya,” ujarku. Aku biasakan panggil anakku pertama kakak untuk mngajarkan pada adiknya memanggil kakak. Karena banyak kutemui adik kakak saling panggil nama sebab orang tuanya terbiasa memanggil nama mereka. Dan orang tua adalah guru utama dalam tumbuh kembang anak.
Yusri membaca pesan WA itu, terdiam lalu memandang wjah ayahnya dan wajahku kemudian berbisik di telingaku.
“Sabar ya mak, nanti kakak tanya pelan-pelan sama ayah kenapa ayah WA gitu sama kak Yuni, mamakkan tahu, ayah kalau mamak merepet mana mau menjawab pertanyaan mamak. Udah karakter,” katanya. Aku diem lalu menuju dapur mengolah bahan makanan yang ada di kulkas untuk menyiapkan menu berbuka puasa. Sembari meracik bahan makanan  berulang kali hatiku beristihfar.   “Astahfirullah halazim….”.
Sepuluh menit berselang Yusri keluar, datang menemuiku menjelaskan mengapa ada pesan WA seperti itu dikirim ke anak kakaknya.
“Ayah lagi suntuk mak, selama ini salah satu dari kitakan selalu qurban tapi tahun ini nggak bisa qurban. Padahal sebelumnya ayah bernazar tahun ini  mau qurban sapi atas nama ayah, mamak, almarhum nenek, kakek, tuek wedok, tuek lanang  dan almarhum uwak.  Tapi malah  zonk, ayah menganggur, bahkan untuk bayar-bayar tagihan pakai uang tabungan untuk qurban itu.  Lagi suntuk-suntuk gitu ayah dapat WA dari orang yang menyewa rumah kita di Medan katanya rumahnya banjir , ”beber Yusri. Aku terdiam, lalu Yusri melanjutkan celoteh yang didapat dari ayahnya.
“Kata ayah mak, ayah sedih karena ayah nazar untuk qurban tahun ini atas dilantiknya mamak dipekerjaan mamak yang baru. Ayah bilang hukum berkurban itu sunnah kifayah (kolektif). Jika satu keluarga sudah ada yang mengerjakan sudah cukup mengugurkan tuntutan bagi anggota keluarga yang lain. Bila tidak ada satupun dari mereka yang melaksanakan maka semua yang mampu dari mereka terkana imbas hukum makruh. Tapi quban bisa berubah menjadi wajib bila terdapat nazar didalamnya,” ujar Yus lagi. Aku masih terdiam, tapi masih bingung juga mengkaitkannya dengan masalah smsnya ke anak kakaknya itu.
“Tapi tenang mak, kak Yus udah bilang ke ayah. Betul nazar itu wajib dilaksanakan, tapi kewajiban dalam nazar bisa ditunda kalau memang tidak mampu untuk melaksanakannya sekarang, itu tertuang dalam QS.Al-Baqarah ayat 286 yang artinya “Allah tidak memaksa seseorang kecuali menurut kemampuannya”. Sekarang ini wajarlah kita nggak bisa berqurban, adek baru lulus masuk ke jenjang yang lebih tinggi, kakak juga harus daftar ulang sekolah sementara ayah nggak punya THR karena pekerja professional,” beber Yusri.
Aku masih diam dengan celoteh anakku, kutunggu lanjutan ceritanya sembari melihat dan menilai bakat anakku yang bercita-cita menjadi Duta Besar . Pada suatu hari Yusri nanya. “Mak, kakak nanti mau kuliah di Hubungan Intenasional, menurut mamak pantas nggak kakak jadi Dubes nanti?”. Saat itu aku menjawab : “Kita lihat aja nanti”. Dan harus kujawab begitu karena cita-citanya berubah setiap bulannya.
“Tapi biar ajalah mak ayah sms gitu, memang betul kok yang dibilang ayah. Menerima kenyataan itu pahit mak. Santai mak….dan tolong berhenti mamak merepet,” ujar Yusri sembari berlalu menuju kamarnya.
Aku terdiam, kupikir-pikir benar juga yang dibilang anakku. Meskipun benar  tetapi sms itu sangat tidak pantas dikirim ke anak kakaknya dan pasti akan menyakiti hati mamaknya. Aku menyesal sudah marah-marah sama suamiku. Kondisi psikologisnya saat ini pasti sedang kacau, karena sudah 4 bulan tidak bekerja gara-gara Covid19. Pekerjaannya yang berinteraksi langsung dengan orang itu akan rentan tertular virus lalu akan menularkan virus itu ke keluarga. Dari diskusi kami memutuskan “Stay at Home” sampai situasi aman. Tapi situasi tidak juga aman akhirnya semua tabungan terkuras habis bahkan nazarnya untuk qurban sapi tahun ini batal dan harus ditunda. Benar bahwa Qadha dan Qaddar hak mutlah Allah. Manusia hanya bisa berencana Allah jualah yang menentukan. (SS)

Komentar

Postingan Populer