Keadilan buat Raka
By : Suhartini Samiun
Angin semilir di sore itu tetap membuat Raka sepertinya
gerah, berjalan hilir mudik bagaikan setrika. Entah apa yang membuat hatinya
gunda gulana, tampak sekali hatinya sedang gelisah. Tugas dari ibunya untuk
memetik kangkung yang harus dijual di pasar belum selesai, tetapi Raka memilih
duduk dan melamun di tepi sawah.
Kemudian
melintas Uwak Mukhlis hendak ke sawah
dan menyapa Raka;
“Raka,
kenapa kamu, sepertinya kamu sedang sedih ya,” Tanya Uwak Mukhlis kemudian menghampiri dan duduk di
samping Raka. Raka hanya diam, kemudian menunduk lalu mengambil sebatang kayu
kecil yang digunakannya untuk mengais tanah. Itu dilakukannya untuk mengusir
kegalauannya.
“Dari
ujung jalan tadi bapak perhatikan kau
melamun, duduk tak tenang dan tak juga memetik kangkung seperti biasanya.
Sebentar lagi emakmu datang, haripun sudah menjelang sore, tak siap pula nanti
kerjamu,” ujar Pak Mukhlis sembari
menepuk-nepuk punggung Raka.
“Nggak
ada apa-apa wak, hari ini Raka malas sebenarnya memetik kangkung tapi kalau
nggak Raka kerjakan apa pulak nanti yang mamak jual ke pasar,” ujar Raka.
“Kalau
gitu jangan malas, kerjakanlah yang sudah menjadi tugas setelah selesai nanti
barulah kau bisa bersantai,” sambung Uwak Mukhlis. Akhirnya Rakapun bangkit
dari duduknya, melemparkan batang kayu kecil yang sedari tadi digunakan untuk mengais
tanah, lalu masuk ke sawah untuk memetik kangkung.
Raka
adalah anak Syaripudin, seorang motir di perapatan jalan simpang Cipulir Desa
Wilir Kecamatan Waringin yang akrab dipanggil Wak Udin. Ibunya Sofia pedagang
sayuran di pasar tradisional Desa Wilir. Raka anak pertama dari lima
bersaudara. Saat ini Raka duduk di kelas III SMP Negeri 2 Waringin. Adiknya
Santi kelas I SMP yang juga sekolah di SMP Negeri 2 Waringin, Susan kelas 5 Sekolah
Dasar Negri 101789 Desa Wilir, kemudian
Ridwan yang duduk di kelas 3 Sekolah Dasar Negeri 101789 Desa Wilir dan Rahman yang masih
sekolah di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Mekar Sari yang dikelolah ibu
Kepala Desa Wilir.
Raka anak yang baik, sebagai anak pertama Raka
bertugas membantu ibunya ke ladang untuk menanam sayuran dan memetik hasil
tanaman di sore hari sepulang sekolah, untuk di jual ibunya di pasar. Adik-adik Raka juga sudah
mendapatkan tugas masing-masing dari bapak dan ibunya. Santi ditugaskan memasak
dan mencuci bersama Susan. Ridwan mendapat tugas mencuci piring dan menjaga
adiknya Rahman.
Meskipun
punya anak lima, keluarga Wak Udin terlihat bahagia, setiap hari Jum’at Wak
Udin mengajak Raka, Ridwan dan Rahman ke masjid untuk sholat Jum’at bersama.
Sesekali di hari minggu Wak Udin dan keluarganya ngumpul di ladang sembari
makan bersama dan membuat acara bakar-bakar ikan. Anak-anak Wak Udin juga
pintar-pintar, Raka dan adik-adiknya selalu mendapat juara di sekolahnya
masing-masing. Masyarakat melihat hal itu wajar, karena Wak Udin sebenarnya
lulusan sarjana yang memilih untuk hidup berwiraswasta. Meninggalkan hingar
bingarnya kota serta memilih desa untuk menjadi tempat tinggal bersama istrinya
Sofia yang juga sarjana. Wak Udin Sarjana Tehnik, Wak Sofia Sarjana Ekonomi. Namun
keberhasilan mereka bukan karena mereka berdua sarjana, tetapi karena keuletan
dan kesungguhan mereka dalam mendidik
anak.
##
Usai
sholat Isya berjamaah, Raka duduk di teras rumahnya sembari memegang buku
Agama. Raka bermaksud mengerjakan pekerjaan rumahnya yang siang tadi dia dapat
dari Pak Siregar. Sebuah tugas untuk menghafal Asmaul Husnah dan harus dibacakan satu persatu nanti
di depan kelas. Wak Udin menghapiri anaknya lalu duduk di samping Raka, lalu
berkata;
“Supaya
lebih mudah, coba Raka ucapkan yang sudah Raka hafal, lalu bapak melihat dan
membaca apakah yang diucapkan Raka benar,” ujar Wak Udin. Raka mengangguk lalu
menyerahkan bukunya sama bapaknya.
“Berapa
lama waktu untuk menghafal ini ?, tanya Wak Udin
“Seminggu”,
jawab Raka
“Kalau
begitu jangan paksakan malam ini hafal semua, cukup 15 nama Asmaul Husna, besok
bacakan lagi yang 15 nama itu lalu tambah lagi 15 nama, seterusnya sampai empat
hari kemudia dua harinya lagi memantapkan hapalan sampai tuntas,” ujar Wak Udin
memberikan strategi menghafal buat Raka.
“Mengapa
mesti bertahap kalau sekali aja bisa,” Tanya Raka.
“Bisa
memang dipaksakan sekali hafal, tapi nanti akan mudah lupa, jika dihafal
pelan-pelan sampai benar-benar hafal Insya Allah akan hafal selamanya. Tapi
jangan lupa tetap dibaca setelah usai sholat, minimal sholat Mahgrib menunggu
Isya,” papar Wak Udin. Raka diam saja mendengar nasehat bapaknya, tapi nasehat
itu diikuti, dalam waktu singkat Raka sudah berulangkali membacakan 15 Asmaul
Husna tanpa melihat buku.
“Raka,”
ujar Wak Udin tiba-tiba memecah kesunyian saat mereka berdua harus diam karena
Raka telah menyelesaikan hafalannya.
“Ya
pak,” jawab Raka.
“Kalau
boleh tahu apa cita-cita Raka nanti setelah dewasa”, tanya Wak Udin.
“Raka
mau jadi orang kaya pak, Raka mau kerja di bank, karena Raka lihat orang-orang
yang kerja di bank pada umumnya kaya,” ujar Raka membuat Wak Udin tersenyum.
“Raka
tahu apa itu cita-cita ?, tanya Wak Udin lagi menanggapi jawaban Raka.
“Tahulah
pak, cita-cita itu impian dan harapan yang akan dicapai seseorang pada masa
yang akan datang,” papar Raka menjelaskan.
“Betul,
tapi sebaik-baiknya cita-cita di masa depan adalah bagaimana menggapai
kebahagiaan dan hidup nyaman, menjadi apapun itu. Menjadi orang kaya tujuan
semua manusia hidup di dunia, tapi bukan itu cita-cita,” ujar Wak Udin. Raka
hanya diam, nggak ngerti maksud bapaknya. Dalam nalar pikiran Raka kalau jadi
orang kaya pasti nyaman dan bahagia.
“Nyaman
dan bahagia itu dapat dirasakan siapa saja asalkan memiliki hati yang ikhlas
dalam menerima keadaan, apapun itu,” sambung Wak Udin. Raka mengangguk, meski kurang
paham menurut Raka, dapat diterima nalar Raka penjelasan bapaknya, kalau kita
ikhlas menerima keadaan pasti kita bahagia.
“Sudah
malam, ayo tidur besok harus bangun pagi,” kata Wak Udin mengakhiri
perbincangannya dengan anaknya.
-##-
Pagi
itu Raka mengikuti pelajaran olah raga, kali ini Pak Gultom guru
olah raga Raka mengajak murid-muridnya ke lapangan. Anak laki-laki bermain
bola, anak perempuan bermain bola kasti. Riuh riah anak-anak SMP bermain dan
berolah raga. Raka terlihat bermalas-malasan untuk gabung di tim Bola, Raka
memilih duduk di bangku dekat taman
sekolah yang tak jauh jaraknya dari lapangan bola.
“Raka
nggak ikut main bola ?, tanya Pak
Gultom.
“Enggak
pak, lagi nggak enak sepatunya dipakai udah koyak ujungnya,” ujar Raka memberikan
alasan.
“Akh
tak usah pakek sepatupun tak apa-apa, kiyam aja alias kaki ayam,” kata Pak
Gultom sambil tertawa. Tiba-tiba Ryan anak kelas sebelah menghampiri Raka lalu
berkata;
“Raka,
pakai aja sepatuku ini, dijamin mantap untuk dibawa lari dan menendang,” kata
Ryan menawari sepatu bermereknya. Ryan anak orang kaya, semua barang-barang
yang dipakainya itu barang berkelas dan sudah pasti nyaman dipakai. Sayangnya
Ryan agak badung dan sesuka hatinya keluar masuk kelas. Jika ada pelajaran yang
tak disukainya, maka Ryan keluar, apalagi mata pelajaran yang gurunya Ryan
tidak suka. Gara-gara itu Ryan hampir dikeluarkan dari sekolah. Ibu dan bapak
Ryan sudah berulang kali datang ke sekolah, di panggil wali kelas dan kepala
sekolah karena tingkah Ryan.
Tawaran
sepatu dari Ryan bukan ini pertama kalinya, sudah kesekian kali dan Ryan selalu
ganti-ganti sepatu, sepertinya keluarga Ryan memiliki toko sepatu hingga Ryan
bisa gonta-ganti seenaknya. Beberapa minggu yang lalu Raka juga memakai sepatu
Ryan untuk bermain bola dan Ryan merasakan betapa nyaman dan enaknya sepatu itu
dipakai, hingga Raka terobsesi ingin membeli. Ingin minta sama orang tuanya
sepatu yang dipakai Ryan setidaknya akan dipakai saat pelajaran olah-raga. Tapi
sampai saat ini Raka belum berani meminta pada bapak dan ibunya dan itulah yang
dilamunkan Raka beberapa minggu yang lalu saat Raka berada di sawah untuk
memetik kangkung.
“Ryan boleh tanya,” kata Raka
“Ada
Apa ?,” Ryan balik bertanya
“Boleh
tahu berapa harga sepatumu ini ?,” tanya Raka malu-malu.
“Nggak
tahu aku, mamaku yang belikan, aku tinggal pakek aja,” jawab Ryan. Raka
terdiam, lalu diam-diam Raka mengamati sepatunya, membaca mereknya. Raka
menghafal merek sepatu itu dengan harapan suatu hari nanti jika Raka berani
meminta maka Raka akan meminta sama bapak dan ibunya merek sepatu itu.
Raka
menerima tawaran pinjaman sepatunya Ryan, dan Raka harus mengakui bahwa sepatu
yang dipinjamkan Ryan memang sepatu yang enak dipakai dan nyaman. Karena
sepatu itu, Raka berhasil mencetak gol
dalam permainan itu. Raka semakin mantap ingin dibelikan sepatu itu suatu hari
nanti, entah kapan, sampai pada waktu Raka berani mengungkapkan keinginannya
pada kedua orang tuanya.
-##-
Siang
itu sepulang sekolah Raka menemui Wak Udin di bengkel tempat Wak Udin bekerja,
sebuah bengkel kecil milik keluarga. Meski kecil, Wak Udin punya tiga kariyawan
lulusan STM yang bekerja di bengkel itu. Tiga karyawan Wak Udin selain bekerja
di bengkel Wak Udin mereka juga kuliah, waktu diatur sedemikian rupa agar
antara pekerjaan dan jadwal kuliah sama-sama bisa terjaga. Tak jarang jika
banyak yang harus dikerjakan di bengkel mereka siap untuk lembur, Wak Udin
hanya meminta tanggung jawab jangan sampai mengecewakan pelanggan. Prinsip
mereka dalam bekerja pelanggan adalah raja, yang harus dilayani sebaik mungkin.
“Ada
apa Raka, sore ini kamu kan harus memetik hasil kebun dan sawah untuk dijual di
pasar,” ujar Wak Udin sesampainya Raka di bengkel.
“Iya
pak, Raka hanya mau bilang sepatu Raka sudah rusak pak, harus dibelikan yang
baru,” kata Raka menjelaskan sembari menunjukkan sepatunya yang sudah koyak di
bahagian ujungnya.
“Oh
Iya, kemarin saat libur semester harusnya kita beli sepatu, bukan hanya untukmu
Raka tapi untuk adik-adikmu juga,” jelas Wak Udin.
“Iya
pak, Raka juga pengen dibelikan sepatu olah raga,” ujar Raka memberanikan diri
untuk minta dibelikan sepatu olah raga sama bapaknya.
“Iya
nanti bapak beli sepatu yang sekalian bisa dipakai untuk olah raga,” ujar Wak
Udin lagi sambil bekerja.
“Sekarang
pulanglah, nanti setelah bapak selesai dengan pekerjaan membetuli motor ini
bapak ke pasar jumpai ibumu, biar nanti kami belikan sepatu buatmu,” jelas Wak
Udin.
“Pak,
aku mau yang mereknya Nike pak,” kata Raka
“Ya,
nanti bapak belikan yang mereknya Nike,” jawab Wak Udin. Raka tersenyum
mendengar jawaban bapaknya. Betapa bahagianya hati Raka karena sebentar lagi
dia akan memiliki sepatu yang dipakai Ryan.
Raka
segera meninggalkan bengkel, lalu pulang ke rumah dengan bersiul-siul kecil
bersenandung lagu bahagia. Masih sebuah janji tapi Raka bahagia, karena Raka
tahu bapaknya tidak pernah ingkar janji. Raka yakin bapaknya lagi banyak uang,
karena bapaknya selalu berkata jujur pada anak-anaknya. Wak Udin nggak malu
bilang ke anaknya, saat punya masalah keuangan di bengkelnya.
Sesampai
di rumah, Raka mengucap salam, masih tetap bersiul dan bernyanyi yang membuat
adik-adiknya bertanya-tanya. Ada apa gerangan yang membuat hati Raka bergembira
dan berbunga-bunga.
“Kakak
kenapa, sedang jatuh cinta ya ?,” tanya Susan adiknya.
“Hus,
nggak boleh jatuh cinta pada saat sekolah. Kakak memang sedang bahagia,” ujar
Raka.
“Ada
apa sih kak ?,” tanya Susan lagi.
“Kakak
mau dibeliin sepatu sama bapak,” jawab Raka
“Aduh
kak, mau dibeliin sepatu aja bahagianya berlebih. Kan sudah biasa kalau sepatu
kakak dah rusak maka harus diganti yang baru,” kata Susan sembari meninggalkan
Raka.
“Eh,
tunggu dulu, ini sepatu bukan sembarang sepatu, tapi sepatu idaman yang abang
nanti-nanti akhirnya sebentar lagi akan dibelikan bapak,” papar Raka.
“Sepatu
apa sik kak ?,” tanya Susan lagi.
“Ini
kakak mau dibelikan sepatu dari kulit rusa,” sembari bernyanyi dan berlari
meninggalkan Susan yang bertanya-tanya. Susan pun hanya bisa geleng-geleng
kepala melihat tingkah abangnya.
=##=
Sore
itu Raka berjalan hilir mudik di teras rumah, keluar masuk kamar, ruang tamu
hingga teras. Matahari telah tergelincir di ufuk senjah, siang akan meninggalkan
hari menjadi malam, hati Raka kian resah, orang yang dinanti-natikan belum juga
pulang. “Kenapa bapak belum pulang, akh pasti sedang membeli sepatu pesananku
tadi,” pikir Raka mengusir galau.
Petang
berlalu digantikan malam yang sahdu, Desa Wilir mulai sepi diiringi dengan
hadirnya suara jangkrik bergema saling bersahutan. Wak Udin belum juga sampai
di rumah, tak biasa memang Wak Udin pulang selarut ini, biasanya Wak Udin
selalu melaksanakan sholat Magrib dan sholat Isya berjamaah. Setelah itu bercengkrama
dengan anak istrinya membahas gegab gempitanya dunia.
“Bapak
kok belum pulang ya bu ?, tanya
Raka pada ibunya yang sedang menyiapkan
dagangan untuk besok pagi.
“Bapak
mau antar motor pak Bagyo, tadi udah pamit sama ibu pulang telat hari ini,”
kata Ibu Raka.
“Kalau
gitu nggak jadi bapak beli sepatuku donk ?, tanya batin Raka.
Wajah
Raka mulai kusut seperti benang yang gagal dirajut, dengan lesu Raka masuk ke
kamarnya. Sekilas Sofia, ibu Raka
melihat kegalauan anaknya. Sofia masuk ke kamar Raka, lalu menghampiri dan
bertanya;
“Ada
apa Raka, sepertinya Raka punya masalah, coba ceritakan saja sama ibu,” ujar
Sofia.
“Nggak
ada masalah bu, tadi siang Raka ke bengkel bapak, minta dibeliin sepatu karena
sepatu Raka sudah sempit dan koyak ujungnya. Kata bapak sore ini mau dibeliin,
kalau bapak sampai malam ke rumah pak Bagyo berarti nggak jadi bapak belikan
sepatu Raka,” ujar Raka.
“Oh
itunya masalahnya, bapak tadi juga bilang kalau hari ini juga akan membelikan
sepatu Raka kok, jadi jangan khawatir,” ujar bu Sofiah tersenyum, lalu pergi
meninggalkan Raka di kamarnya. Mendengar ucapan ibunya Raka merasa senang.
Hari
telah larut, Wak Udin juga belum pulang, Raka memutuskan untuk tidur, sebab
esok hari harus sekolah. Begitu juga dengan adik-adik Raka yang lain, Santi,
Susan, Ridwan dan Rahman memilih tidur, tak lagi menunggu sang bapak tercinta
yang selama ini selalu melewati malam dengan sebuah cerita tentang dunia,
tentang cita-cita, tentang harapan sampai pada tentang masa depan yang harus dijalani
dengan memilih.
=##=
Pagi
dini hari Raka telah bangun dari tidurnya, kali ini Raka tidak butuh suara
kokok ayam untuk membangunkannya, tidak
perlu suara ibu untuk memanggilnya, tidak perlu juga suara rengekan Rahman saat
bangun dari tidurnya. Tubuh Raka terjaga sendiri, rasa penasaran akan sepatu
baru membuat Raka terburu-buru bangun, lalu beranjak ke ruang tamu. Raka yakin
sepatu baru itu sekarang sudah ada di ruang keluarga dimana mereka selalu
berkumpul.
Mata
Raka liar mencari sesuatu di ruang tamu, dan akhirnya terfokus pada sebuah
bungkusan plastik berwarna hitam yang ada di meja. Raka berlari menuju meja
tersebut, lalu meraih plastik hitam itu kemudian buru-buru membukanya, dan
sepatu baru itupun sekarang ada di tangan Raka.
Raka
menarik nafas dalam-dalam, hembusan nafas yang dipaksakannya menunjukkan bahwa
Raka sedang kecewa, jelas bukan itu sepatu yang diinginkannya. Mereknya memang
sama seperti keinginan Raka, “tapi ini KW ke-100nya mungkin,” bisik batin Raka.
Raka
membungkus kembali sepatu itu ke plastik
hitam lalu meletakkan bungkusan itu di meja, kemudian Wak Udin bapak Raka
keluar dari kamarnya lalu menyapa Raka dengan wajah sumringa;
“Itu
bapak sudah belikan sepatu baru, kamu sukakan ?,” tanya Wak Udin pada anaknya.
Raka hanya diam, lalu berlalu dari hadapan bapaknya dengan menelan kekecewaan.
“Raka,
itu sepatu sesuai dengan pesananmu, kenapa kamu nggak suka ?, tanya Wak Udin.
“Bukan
itu mau Raka, Raka mau sepatu merek nike yang asli seperti yang dimiliki Ryan,”
ujar Raka menaikkan volume suaranya.
“Bukankah
itu sama-sama sepatu dengan merek yang sama, bapak juga membelinya sesuai
dengan kemampuan kita,” ujar Wak Udin.
Raka pergi meninggalkan bapaknya sembari berguman; “Ini tidak adil,
Tuhan pilih kasih dalam kehidupan dunia ini,”.
“Raka,
apa maksudmu ?, tanya Wak Udin. Wak Udin sekilas mendengar ucapan Raka.
“Nggak
perlu diperpanjang pak, Raka mau mandi, nanti Raka pakai sepatu itu,” ujar Raka
meninggalkan bapaknya.
Ibu
Raka hendak pergi ke pasar untuk berdagang, adik-adik Raka juga sudah bangun
dari tidurnya, bersiap untuk pergi sekolah. Sebelum berangkat ke sekolah, Wak
Udin mengumpulkan anak-anaknya di ruang tamu, lalu memperjelas apa yang menjadi
keluh kesah Raka anaknya. Setelah semua berkumpul Wak Udin pun bertanya pada Raka;
“Raka
coba katakan pada bapak dan adik-adikmu tentang ketidakadilan Tuhan kepadamu,”
ujar Wak Udin membuat Raka tergagap. Raka benar-benar tidak menyangka kalau
bapaknya ingin memperjelas guman lirih tanda kesal yang ingin disampaikannya.
“Ayo
katakan, biar bapak tahu bagaimana penilaianmu tentang keadilan,” ujar Wak Udin
dengan nada lembut. Raka terdiam, tertunduk lalu mendekat dan mengeluarkan
pendapat tentang keadialan yang dipahaminya.
“Menurut
Raka, Tuhan tidak adil. Raka selama ini ingin tetap menjadi anak yang baik,
mengikuti apa yang diminta bapak, membantu ibu, belajar dengan baik, ingin
menjadi contoh yang baik buat adik-adik karena Raka dilahirkan sebagai anak
pertama,” papar Raka lalu diam memandang reaksi wajah bapaknya.
“Teruskan,”
kata Wak Udin.
“Ya
Raka merasa sudah jadi anak yang baik pak, tapi apa yang Raka harapkan tidak
tercapai. Sementara Ryan, dia bahkan berulangkali membuat ulah yang membuat
orang tuanya dipanggil ke sekolah, tapi dia selalu mendapatkan apa yang
diinginkan, semua barang-barangnya bagus, uang jajannya banyak,” ujar Raka
lagi, tapi kali ini nadanya menurun melihat Wak Udin tersenyum.
Setelah
Raka menyampaikan keresahan hatinya, semuanya diam, saling pandang. Susan tidak
menyangka kakaknya yang selama ini baik berani mengatakan hal itu. Ini bukan
Raka, tapi orang lain yang ingin menuntut lebih. Selama ini Wak Udin tidak
pernah melalaikan tugasnya sebagai orang tua, selalu memenuhi kebutuhan
anak-anaknya, apapun itu dari mulai sandang sampai pangan.
“Susan,
mari sini,” panggil Wak Udin pada anak gadisnya. Susan mendekat, lalu Wak Udin
pun berbisik. “Tolong ambilkan garam dan gula,” ujar Wak Udin pada Susan. Susan
memandang wajah bapaknya, bola matanya menatap bapaknya untuk meyakinkan kalau
bapaknya meminta diambilkan garam dan gula. Wak Udin mengangguk dan memastikan
apa yang dipintanya, Susan lalu pergi ke dapur mengambil garam dan gula yang
diminta bapaknya.
“Mari
anak-anakku, kita duduk sebentar, bapak ingin menjelaskan apa itu keadilan,
supaya kita tidak menyalahkan Tuhan atas apa yang tidak sesuai dengan keinginan
kita,” ujar Wak Udin mengajak anak-anaknya duduk.
Susan
datang dari dapur, lalu duduk di samping bapaknya dan menyerahkan garam dan
gula yang diminta oleh bapaknya.
“Sekarang,
mari buka tangan kalian semua,” ujar Wak Udin sembari membuka telapak tangannya
untuk memberikan contoh kepada anak-anaknya. Kemudian Raka, Susan, Santi,
Rahmah dan Ridwan mengikuti bapaknya menyodorkan tangan dan membuka telapak
tangannya. Wak Udin kemudian meletakkan sedikit garam ke seluruh telapan tangan
anak-anaknya sekaligus ke telapak tangannya. Kemudian Wak Udin memerintahkan
pada anak-anaknya untuk menjilat garam yang ada di telapak tangan anaknya, dan
dia melakukan hal serupa.
“Raka,
apa rasanya ?, tanya Wak Udin.
“Asin,”
jawab Raka Singkat.
“Susan,
apa rasanya ?. tanya Wak Udin lagi.
“Yah
pasti Asin lah pak,” ujar Susan.
“Santi,
apa rasanya ?,” tanya Wak Udin kepada Santi.
“Asin
juga pak,” jawab Santi sembari meringis.
“Rahman,
apa rasanya ?,” tanya Wak Udin juga kepada Rahman.
“Asin,
pak,” jawab Rahman singkat.
“Ridwan,
apa rasanya,?” tanya Wak Udin juga pada Ridwan.
“Asin
juga,” ujar Ridwan.
Setelah
mendengar jawaban anak-anaknya, Wak Udin tersenyum lalu berkata. “Begitu juga
dengan gula ini. Tidak perlu bapak contohkan, tapi gula ini sudah pasti dirasa
manis oleh kalian semua,” ujar Wak Udin.
“Bapak hanya ingin
menjelaskan, itulah keadilan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Keadilan itu ada di
rasa, buat siapapun umatNya, apapun statusnya, apapun pekerjaannya, berapapun
usianya. Asinnya garam yang kamu rasakan
Raka, sama asinnya garam yang dirasakan Ryan, dan sama yang dirasakan menteri
dan presiden sekalipun. Dan garam di dunia ini melimpah ruah sehingga dapat
dinikmati oleh siapa saja dengan harga murah dan dapat terjangkau. Jika garam
menjadi barang langka maka hanya segelintir orang yang dapat menikmatinya,
sementara kita tahu betapa hambarnya rasa tanpa garam,” papar Wak Udin
menjelaskan tentang apa itu keadilan. Raka dan adik-adiknya diam tetap
mendengarkan kelanjutan nasehat bapaknya tentang keadilan.
“Jangan pernah meragukan
keadilan Allah, rasa garam hanya sedikit dari petunjuk Allah tentang keadilan
yang ada. Begitu juga dengan yang lainnya, rasa yang lain, rasa senang, rasa
bahagia dan rasa sedih juga dimiliki semua manusia. Tinggal sekarang bagaimana
kita memilih yang cocok dan tepat buat kita,” papar Wak Udin lagi.
“Manusia diberi akal dan
pikiran, itu juga bagian keadilan Allah, maka gunakan akal dan pikiran kita, salah satunya untuk memilih tindakan apa yang
akan kita buat untuk kehidupan kita, sesuaikan dan bersyukur maka kita akan
paham keadilan Tuhan,” ujar Wak Udin. Raka terdiam lalu menghampiri bapaknya,
memeluk Wak Udin sembari berbisik;
“Raka sudah paham pak apa
itu keadilan, sepatu ini bukan jadi ukuran keadilan Tuhan. Maafkan Raka pak,”
ujar Raka. Wak Udin tersenyum, memeluk hangat anaknya. Lalu setelah itu semua
berangkat ke sekolah.
Raka merasa lega, pergi
sekolah dengan sepatu barunya, tersenyum dan menyapa semua orang yang
ditemuinya. Raka merasa bahagia memiliki bapak seperti Wak Udin, selalu bijaksana
menyelesaikan masalah anak-anaknya. Raka
merasa nyaman dengan sepatu barunya, ukuran sepatu yang pas dikakinya. Di mata
Raka Wak Udin memang luar biasa. (S E L E S A I).
=##=
Komentar
Posting Komentar