Cerpen
Biografi
oleh : Suhartini Samiun
“Apa pentingnya menulis biografinya, dia
bukan siapa-siapa, dia tidak dikenal, tidak bersedia dikenal, tidak mau menjadi
orang terkenal, bahkan tidak suka berbicara dengan orang yang baru dikenal. Dia
bahkan terkesan sombong, selalu diam dengan tatapan curiga, ...” ujar Ningrum
sedikit merepet saat dia tahu aku sedang serius akan menulis sebuah biografi
seseorang.
Aku berusaha menjelaskan tentang tujuanku, tentang
curigaku, tentang rasa penasaranku bahkan tentang sesuatu yang mengganjal dihatiku
saat aku lebih ingin mengenal dia. Dia yang akan kutuliskan biografinya untuk
diketahui semua orang, tanpa harus dibayar, karena bagiku penting untuk
menulisnya. Penting untuk diketahui, penting untuk dipublikasi bahkan penting
untuk dokumentasi generasi nanti.
Semua orang tau, buku biografi itu adalah buku yang
menceritakan kejadian-kejadian hidup seseorang. Lewat biografi akan ditemukan
hubungan, keterangan dari sebuah tindakan tertentu atau sebuah misteri yang
melingkupi hidup seseorang, sekaligus penjelasan mengenai tindakan atau prilaku
dalam hidup seseorang.
Anganku menerawang jauh pada guru Bahasa Indonesiaku
yang menjelaskan apa itu biografi. Aku kemudian menjelaskan lagi pada Ningrum.
Biografi itu berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata Bios yang
memiliki arti “hidup” dan graphien yang berarti tulis. “Jadi biografi itu
adalah tulisan yang membahas tentang kehidupan seseorang. Yang menarik
tentunya, dan ini menarik, tidak mesti dibayar,” ujarku mempertegas.
Ningrum tidak peduli, menurutnya biografi itu akan layak
ditulis untuk orang-orang yang sudah menjadi tokoh, sudah dikenal,
sudah punya karya bahkan sudah populer di tengah-tengah masyarakat. Bahkan
dibenak Ningrum yang aku tau pasti, membuat biografi pasti akan menghasilkan Rembang
Pati RP, istilah Rupiah bagi beberapa kalangan orang media di Medan.
“Dia itu siapa ? dan kau dibayar berapa ?”
tanya Ningrum lagi mempertegas penolakannya.
Aku tahu persis kecemasan Ningrum jika aku mulai serius
menulis, dia sebagai teman satu rumah dikontrakan mungil berkamar satu dengan
ruang tamu yang seadahnya dan dapur kecil dengan tungku gas kecil subsidi
pemerintah, akan disibukkan dengan jeritanku memintanya membuatkan kopi,
merebuskan ubi, membelikan roti bahkan menggorengkan telur untuk sarapan pagi.
“Sudahlah, cari saja ide yang lain. Tulis saja artikel,
atau cerpen, atau cerbung mungkin, yang tidak perlu waktu berbulan-bulan untuk
mengerjakannya,”sambung Ningrum, sembari membaca coretan-coretan jadwal dan
rencana kerjaku tentang biografi yang akan kutulis nanti.
Tanpa ditanya, tanpa pula ada dialog antara aku
dan dia, Ningrum kembali melanjutkan ucapannya, “Gila...kau akan menulis
biografi ini dengan jangka waktu satu tahun, dan masih ingin mencari siapa
temannya, siapa orang yang ada didekatnya, siapa orang yang selama ini
bekerjasama dengannya bahkan siapa-siapa saja yang mengaguminya. Kau ini
benar-benar gila...!.
Aku diam membisu, rasa ingin tahu membelenggu untuk tetap menuliskan itu. Aku
paham benar kegusaran Ningrum dengan target waktu yang akan kukerjakan, bahkan
hari-hariku akan kuhabiskan untuk memburu sumber tentang dia dan terus tentang
dia. Ningrumlah pasti orang pertama yang akan kuminta bantuan, meluangkan waktu
untuk menemani bahkan sampai pada persoalan keuangan.
Aku harus serius menulis biografi ini, karena itu aku
harus menuliskan jadwal yang tepat untuk memperjelas struktur penulisan,
tentang orientasi dan pristiwa. Aku akan mencari fakta karena biografi harus
memuat informasi berdasarkan fakta. Menurutku ada sesuatu yang menarik dalam
kehidupan tokoh yang akan kutuliskan ini, ada hal yang mengagumkan, dan aku
yakin ada hal yang mengharukan, dan yang pasti ada yang layak dicontoh
dalam kehidupannya. “Inilah biografi,” pikirku.
“Aku angkat tangan kali ini, sorry....I am Sorry, aku
tidak akan membantumu kali ini,” kata Ningrum diucapkan dengan tegas bahkan
dengan sorot mata yang tajam hingga menghunjam keulu hatiku.
“Kau seharusnya tidak membuatku pusing sebelum aku
pusing dengan kalimat awal yang akan kutuliskan untuk rencana penulisan
biografi ini,” kataku jengkel.
Ningrum diam, dia tahu aku sudah mulai marah dengan
celotehnya. Akupun akhirnya juga diam, tidak ada kata-kata yang terucap tapi
dari sorot matanya dapat diambil kesimpulan ketidaksetujuannya tentang
rencanaku. Pemikiran Ningrum masih sama dengan pemikiran orang-orang bahwa
biografi hanya layak dituliskan untuk orang yang sudah terkenal dan dikenal.
Aku sudah memantapkan hati untuk menuliskan biografi
ini, aku bahkan tidak peduli jika biografi yang kutulis ini akan ditolak
penerbit karena diyakini tidak akan memberikan profit. Aku akan cetak biografi
ini sendiri, 100 ekslempar, 50 ekslempar mungkin, aku yakin kisah tentang
kehidupannya akan layak dibaca orang, yang pasti biografi ini harus dituliskan
dulu.
=##=
Aku duduk di depan kontrakan tanpa teras, untuk
menyambut datangnya mentari pagi. Ada dua kursi plastik plus satu meja yang
kami beli untuk memenuhi hasrat menikmati mentari pagi persembahan dari Ilahi.
Orang melihatnya agak aneh, karena depan pintu kontrakan tanpa teras dan tak
beratap itu tak cocok benar diberi kursi untuk duduk-duduk. Kami hanya perlu
memastikan tidak ada hujan dipagi hari untuk kami duduk di kursi itu. Tapi
setelah menikmati mentari pagi, saat beranjak kami harus memastikan kursi itu
dibawa masuk, kalau tidak akan lenyap meski dia tidak berkaki. Ini adalah kali
ketiga kami membeli kursi dan meja itu, setelah dua kali kehilangan karena lupa
memasukkan.
“Pagi non,” sapa bu Cindy tetangga diujung gang rumah
kami.
“Pagi bu,” jawabku sembari melontarkan senyuman yang
termanis yang kumiliki. Bu Cindy ini tetangga yang diberi sebutan “WTS”
(Wartawan Tanpa Surat kabar), tapi bukan media online juga. Sebutan itu
disematkan pada dirinya karena kerap kali menyampaikan kabar berita yang ada di
lingkungan kami tanpa diminta. Akupun harus hati-hati berhadapan dengan bu
Cindy, salah senyum aja bisa dibilang sombong dan nanti akan dikabarkan kepada
siapapun yang dia temui.
Bu Cindy datang bersama anaknya Sinta, siswa SMA Al
Barokah kelas III. Dari gelagatnya pasti ada yang diinginkannya dariku.
Keramahannya, senyumannya serta adanya bungkusan yang dibawanya, aku yakin dia
akan butuh aku. Minimal barter antara apa yang diberi untukku dan apa yang akan
diminta kepadaku.
“Ada apa ya bu Cindy, ada yang bisa saya bantu ?,”
tanyaku.
“Ini non, kata orang-orang non itu penulis ya, terus
teman non yang satu kontrakan wartawati ya ?,” tanya bu Cindy.
“Waduh, kok bawa-bawa pekerjaan ada apa
ini ya ?, tanyaku dalam hati.
“Iya bu, ada apa ya bu ?, tanyaku.
“Ini si Sinta anakku ada tugas dari
sekolahnya untuk menulis biografi, katanya sekalian akan dinilai dan mendapat
hadiah jika menang. Katanya kalau penulis dan wartawati sering ya membuat
biografi, dan pasti bisalah membuat biografi,” papar bu Cindy panjang lebar.
“Tolong bantulah anak saya untuk menulis
biografi, aku yakin kalau non yang bantu pasti anakku bisa,” katanya lagi.
Aku tersenyum kecut. “Waduh, ini
pernyataan dan permintaan yang amat sulit untuk dibantah dan
ditolak,”pikirku sembari membayangkan jika aku menolak maka aku akan menjadi
bahan berita mentah tanpa konfirmasi yang akan dikemas bu Cindy lalu
menyebarluaskannya tanpa permisi.
Tanpa pikir panjang aku menyetujui
permintaan bu Cindy untuk membantu anaknya untuk menulis biografi. Dalam
benakku melintas bayangan Ningrum yang aku yakin bisa membantu.
“Okelah bu, Sinta kapan tugas itu harus
selesai ?,” tanyaku basa-basi.
“Bulan depan kak,” jawab Sinta singkat.
“Waduh, cepat amat,”pikirku. Itu guru tahu
ngak apa itu biografi, bagaimana menulis biografi, proses yang harus dilakukan
sebelum menulis biografi. Atau yang dia butuhkan hanya sebuah biografi yang
menjadi karangan angan-angan siswa tanpa harus mengumpulkan fakta. Atau dia hanya
butuh daftar riwayat hidup seseorang yang dituliskan dengan gaya narasi.
Entahlah.
Keterkejutanku atas batas waktu yang harus
menjadi deadline tugas biografi Sinta seketika lenyap saat Ningrum muncul
dengan membawa dua cangkir kopi.
“Eh, ada tamu rupanya. Mari masuk bu
Cindy, kursinya cuma dua ini,” kata Ningrum yang aku yakin hanya basa basi.
“Ngak usah, saya juga harus belanja dan
memasak. Biar Sinta aja disini sekalian janjian kapan bisa diajari,” kata bu
Cindy sekalian pamit pulang, serta menyuruh Sinta untuk tetap bertahan di rumah
kami.
“Apa ini, ada apa ini ?”, tanya Ningrum sepulang bu Cindy.
“Sinta ada tugas menulis biografi,
kubilang tadi sama bu Cindy kalau kau ahlinya dalam menulis biografi,”ujarku
yang membuat mata Ningrum melotot tanda tak senang.
Dari isyarat yang kusampaikan, Ningrum
paham bahwa itu tidak perlu diperdebatkan di depan Sinta. Akhirnya kami membuat
kesepakatan dan janji untuk memenuhi keinginan Sinta membuat biografi. Duh,
Biografi.
=##=
Aku baru saja mau menutup pintu ketika bu
Kartika datang mengucap salam untukku. Bu Kartika adalah guru Bahasa Indonesia
di sekolah swasta ternama yang ada di Kecamatan kami. Guru yang ramah ini kerap
kali menyapa dan sering datang ke rumah menemui Ningrum untuk mengantarkan
naskah puisi siswanya untuk dimuat di media tempat Ningrum bekerja. Di media
tempat Ningrum bekerja setiap hari Kamis ada rubrik remaja untuk berkarya yang
rubriknya ditangani Ningrum. Bu Kartika juga sering mengajak kami berdiskusi
untuk pengembangan model pendidikan kepada siswanya. Sebagai guru yang sudah
bersertifikasi, Bu Kartika merasa berkewajiban mengikuti perkembangan zaman
dalam memberikan pelajaran kepada siswanya.
Suatu hari bu Kartika datang dengan membawa laptop yang baru dibelinya. Dia
datang untuk minta diajarkan cara menggunakan laptop tersebut. Katanya laptop
itu dibeli dari uang sertifikasi yang diterimanya.
“Kemarin uang sertifikasi saya cair dua bulan, maka saya beli laptop ini
untuk mendukung saya dalam mengajar. Tolong ajari saya cara menggunakannya ya,”
kata Bu Kartika saat itu.
Aku harus acungkan jari jempolku kepada bu Kartika atas sikapdan
dedikasinya yang jujur. Di saat para guru-guru menggunakan uang
sertifikasinya untuk membeli perhiasan dan barang-barang mewah, tapi bu Kartika
membeli barang untuk menambah pengetahuannya. Kalau ada 30 persen saja guru
seperti bu Kartika, maka jangan sangsikan masa depan generasi bangsa.
“Eh bu Kartika, ada apa ya, mau ketemu Ningrum, dia baru saja berangkat
kerja, dan sayapun mau keluar ini,” kataku setelah menjawab salam dari bu
Kartika.
“Sebentar saja, saya mau jumpa kamu. Mau minta tolong,” kata bu Kartika.
“Minta tolong apa ya bu ?, tanyaku.
“Gini, minggu depan saya melalui persetujuan kepala sekolah akan membuat
pelatihan menulis buat siswa kelas III yang ada di sekolah kami sebagai
kegiatan ekstra kurikuler. Ada beberapa narasumber yang akan diminta untuk
menjadi tutor, salah satunya Ningrum dan kamu. Ningrum membawakan materi
tentang kiat membuat cerpen dan puisi. Sedang kamu membawakan cara membuat biografi.
Ini suratnya,” kata bu Kartika tanpa meminta persetujuan kami terlebih dahulu.
“Maaf sebelumnya, rencana ini mendadak, sehingga tidak meminta
persetujuan kalian terlebih dahulu, tolong ya. Sekalian sampaikan pada Ningrum
surat ini,” lanjut bu Kartika sembari menyerahkan dua amplop undangan sebagai
nara sumber kegiatan.
Aku benar-benar tidak bisa menolak permintaan bu Kartika yang mendadak ini.
Padahal, aku sudah merencanakan perjalanan luar kota selama seminggu untuk
menelusuri jejak-jejak kehidupan seseorang yang akan kubuat biografinya.
“Okelah bu, nanti saya sampaikan sama Ningrum. Terima kasih ya bu,” ucapku.
Dan bu Kartika kemudian pamit pulang.
=##=
Aku masih mengetik lalu menghapus kalimat yang ada di laptop untuk
mengawali penulisan biografi yang telah kurencanakan dengan matang. Sudah lebih
lima belas menit aku terus mengulang kalimat yang menurutku belum juga pas
sebagai “lead” dalam tulisanku. Hatikupun gusar, tak pernah aku
sesulit ini untuk menuliskan kalimat dalam mengawali penulisan biografi. Sudah
lebih dari 10 buku biografi yang aku tulis. Dari ke-10 buku itu aku
mendapatkan royalti dan tentunya harus hati-hati dalam menulis karena itu
sebuah biografi pesanan. Kali ini mengapa sulit, padahal biografi yang akan
kutulis ini adalah biografi yang aku inginkan dari hati, akan kutulis tanpa
pamri dengan tujuan pulikasi. Tiba-tiba pintu rumah kami diketuk orang.
“Assalamualaikum,” ucap seseorang di luar pintu memberi salam.
“Waalaikum salam,” jawabku sembari beranjak membuka pintu untuk tahu siapa
gerangan pengetuk pintu.
Begitu pintu terbuka, aku terkejut melihat sosok yang berdiri didepanku.
Seperti mimpi aku terperangah melihat tamu yang ada di depanku. Kuncoro...,
ya, dia Kuncoro Asmoro Joyo, pria yang menghilang tanpa kabar berita
setelah lulus dari studi S1 bersamaku, dengan membawa sejuta kenangan yang
indah bersamaku. Karenanyalah aku menjadi penulis, karena dialah aku tak pernah
punya waktu lagi untuk merajut kasih setelah patah hati. Kini setelah sebelas
tahun dia menghilang, tiba-tiba dia muncul dihadapanku.
Aku terpana, tak dapat berkata-kata. Masih ada debar dihatiku, yang aku
yakin itu adalah debar rindu.
“Hai...!”, sapa Kuncoro tanpa ada rasa canggung pada raut wajahnya.
Aku tidak merespon sapanya, sibuk menata hati dan mengatur debar yang tak
berirama agar dia tidak tahu betapa hatiku selama ini merindu.
“Apa kabar ?, boleh aku masuk ?,” kata Kuncoro lagi. Tidak menjawab tapi
aku mengangguk lalu membuka pintu lebar-lebar sebagai isyarat memperbolehkan
Kuncoro masuk.
Aku masih diam dalam beberapa menit, lalu Kuncoro melanjutkan kalimatnya.
“Maaf, aku dulu pergi tanpa pesan. Melanjutkan studi S2ku di Kanada selama
empat tahun, sepulangnya dari Kanada aku diterima kerja di perusahaan swasta
yang ada di Kalimatan. Hari-hariku disibukkan dengan pekerjaan sehingga lupa
untuk mencarimu,” ujar Kuncoro.
Aku masih terdiam, tak percaya dengan ucapannya. Yang pasti sejak
ditinggalkan dirinya aku sempat kehilangan jati diri, sampai akhirnya aku
disadarkan teman-teman yang masih peduli terhadap hidupku, mereka diantaranya
adalah Ningrum. Meski waktu sudah berlalu sekian tahun, aku tidak dapat
melupakan Kuncoro bahkan menggantikan kedudukannya dihatiku. Ningrum
sudah tiga kali ganti pacar, sementara aku belum juga punya pacar pasca ditinggal
Kuncoro. Ningrum bilang aku penulis bodoh yang pandai merangkai kata tapi tak
dapat mewujudkannya sebagai sesuatu yang nyata.
Ungkapan bodoh Ningrum ternyata terbukti dengan kalimat yang dilontarkan
Kuncoro, hari-hariku disibukkan pekerjaan sehingga lupa untuk mencarimu. “Duh
Gusti, ternyata pria seperti ini yang aku cintai,” gumanku dalam hati.
“Aku mendapatkan alamatmu dari Blog yang kamu miliki,” kata Kuncoro masih
melanjutkan kalimatnya.
Aku masih diam, dan diamku membuat Kuncoro menjadi salah tingkah dan
kehilangan kata-kata. Akupun tersadar dengan keheningan yang ada diantara kami.
“Untuk apa menemuiku ?”, tanyaku memberanikan diri untuk memecah
keheningan.
“Sekali lagi maaf, aku datang mencari dan menemuimu karena punya
tujuan,”ucap Kuncoro yang membuat hatiku semakin pilu. Aku pikir dia datang
karena rindu, aku pikir dia datang ingin mengulang masa lalu, aku pikir dia
masih Kuncoroku. Ternyata waktu telah berjalan sedemikian panjang hingga
melahirkan puluhan cerita baru meninggalkan cerita masa lalu.
Kukuatkan hatiku untuk melanjutkan pertanyaanku, “Apa tujuanmu ?” tanyaku
lagi.
“Beberapa tahun ini aku selalu membaca karya-karyamu, buku-buku yang kau
tulis, termasuk buku biografi. Aku suka gaya bahasamu, kau memang punya bakat
untuk itu,” kata Kuncoro. Aku diam dengan celotehnya tentang tulisanku.
Kemudian Kuncoro melanjutkan kalimatnya;
“Pemilik perusahaanku adalah seorang tokoh masyarakat, beliau masih muda,
usianya masih 35 tahun. Beliau berkeinginan menjadi calon Gubernur di
Kalimantan Utara. Bukan saat ini, tapi nanti priode yang akan datang,” ujar
Kuncoro.
“Lantas apa hubungannya dengan aku?.” tanyaku,
“Semua harus direncanakan dengan matang, dia harus buat pencitraan,
keberhasilannya dalam berbisnis harus dipublikasikan,” beber Kuncoro lagi.
“Untuk itulah aku menemuimu, ingin memintamu menuliskan biografi tentang
beliau. Soal biaya tidak ada masalah. Semua perjalanan untuk mencari
fakta tentang dia akan disediakan, transportasi, akomodasi, semuanya.
Kamu tinggal bilang, nanti aku semua yang mengatur,” ujar kuncoro.
Aku diam terus menyimak kalimat demi kalimat yang dia lontarkan. Tatapanku
tidak berkedip memandang wajahnya. Dia masih seperti yang dulu, pria tampan
berkumis tipis yang teramat manis.
“Gimana ?,” tanyanya mengejutkan lamunanku di masa-masa yang lalu.
“Aku masih ada proyek penulisan biografi. Masih mengawali bahkan, hingga
butuh waktu enam sampai tujuh bulan,” kataku menolak tawarannya.
“Biografi, karena biografi seseorang, dia datang mencariku. Seminggu ini
aku terus-terusan disodorkan persoalan yang berkaitan dengan biografi, dan
satupun belum ada yang terselesaikan,” gumamku dalam hati.
“Please, tolong biografi ini dulu yang diselesaikan. Soal biaya jangan
khawatir, beliau pasti membayarnya. Beliau juga sudah membaca beberapa biografi
yang kamu tulis, sama sepertiku, beliau juga menyukai gaya bahasamu, sebutkan
aja angkanya, berapa ?” ujar Kuncoro memohon.
Aku bergumam dalam hati “Duh Gusti, gaya memohonnya masih sama seperti yang
dulu, sebelas tahun aku berusaha melupakan tapi ngak bisa. Kini dia datang
menawarkan sebuah rezeki, apa aku harus menolak untuk menjauh darinya. Dan
bagaimana dengan rencana biografi yang akan kutulis yang sudah kurancang dengan
matang,”ujarku dalam hati.
“Aku akan mencarikan penulis lain yang sudah teruji kemampuannya dalam
membuat biografi,” kataku pada Kuncoro.
“Aku mau kamu,” ujar Kuncoro mempertegas.
“Aku pikir-pikir dulu,” kataku.
“Oke, aku tunggu dua hari. Tolong minta nomor hand phone kamu, nanti aku
hubungi dua hari lagi,” katanya. Aku dan Kuncoro akhirnya bertukar nomor Hand
Phone. Kemudian Kuncoro pamit, aku diam lalu Kuncoro memberi salam.
=##=
Waktu terasa lambat berlalu, detik telah berganti menit, menit telah
berganti jam, tapi bayangan Kuncoro tak lepas dari anganku. Dia masih seperti
yang dulu, pria yang sebenarnya “layas”, dalam istilah orang melayu di Medan,
layas sebutan buat orang yang selalu berbuat semaunya, tidak memikirkan bahwa
sikapnya itu membuat jengkel orang lain. Karena sifat layasnya itulah membuat
dia berani kembali menjumpaiku, tanpa merasa bersalah, tanpa pula mengucapkan
kata maaf langsung berani mengungkapkan tujuannya. Menulis biografi atasannya,
aku pun berandai-andai dan menduga pesanan biografi ini pasti diinginkan
atasannya bukan karena mau dia.
Angan dan lamunanku membuyar ketika Ningrum datang dengan suara lantangnya
memecehkan keheningan.
“Assalamualaikum...! ucap Ningrum.
Belum ada jawaban dariku, dalam hitungan detik sudah tiga kali salam diucapkannya
dengan lantang. Buru-buru aku langsung menjawab, “Waalaikum salam, sabar...!”
ujarku sembari membukakan pintu untuknya.
“Gimana, sudah dimulai tulisan biografinya ?, tanya Ningrum. Aku diam dan
hanya bisa menggeleng.
“Kenapa ?, biasanya gampang ajanya samamu memulai penulisan tentang
biografi. Mungkin karena ngak ada uangnya jadi lamban otakmu. Udah kubur aja
angan-angan membuat biografi itu,” celoteh Ningrum.
“Bukan, bukan karena ngak ada uangnya. Semua orang butuh uang, tapi untuk
kali ini aku akan membuat biografi yang memang pantas ditulis dan untuk
dipublikasikan. Tapi ini soal Kuncoro, tadi dia datang kemari” jawabku membuat
mata Ningrum terbelalak.
“Apa Kuncoro datang kemari ?” tanyanya seakan-akan tidak percaya.
“Ya, dia datang menawarkan pekerjaan untuk membuat biografi seorang
pengusaha dari Kalimantan yang ingin menjadi Gubernur,” ujarku datar.
“Darimana dia tau alamatmu ?”, tanya Ningrum lagi.
“Katanya dari Blogku, dia juga bilang selalu membaca karya-karyaku lewat
blogku,” jawabku lagi.
“Lalu ?,”tanya Ningrum seakan meminta penjelasan lanjut soal Kuncoro dan
tawaran penulisan biografi.
”Aku bingung, kau kan tau aku sedang menyiapkan tulisan biografiku, sebuah
tulisan yang sudah kurancang dengan matang. Kalau tidak ada tugas dari bu
Kartika, minggu depan aku mestinya ke Langkat untuk memulai mencari data untuk
biografi itu,” beberku.
Ningrum diam, aku tahu dia masih menunggu lanjutan ceritaku, lanjutan dari
rencana kerjaku tentang penulisan biografi itu.
“Aku sudah memulainya dua jam lalu, tapi tak satu kalimatpun yang tertuang
dalam tulisanku, aku bertanya ada apa ini, dan aku yakin jawabannya karena
Kuncoro,” ujarku lagi. Ningrum masih diam, dia memang sahabat sejati yang
selalu bersedia menjadi pendengar yang budiman jika aku membutuhkan teman
curhat.
“Bagaimana menurutmu ?, tanyaku meminta pendapat Ningrum.
Ningrum masih diam, sesaat kami saling diam. Angan dan pikiran kami masih
mencari bahan untuk melanjutkan kalimat yang sangat rumit diungkapkan. Entah
kenapa.
“Terserah kamu aja, aku tau kau masih menyimpan perasaan sama Kuncoro kan,
dan karena itu kau masih sendiri sampai saat ini,” kata Ningrum.
“Ini pilihan yang sulit, hatiku sudah memutuskan untuk membuat biografi
tokoh yang aku panuti dan segani. Dan aku yakin, walau tidak dibayar aku yakin
bukunya layak dibaca sebagai bahan motivasi hidup. Sementara tawaran Kuncoro
akan membawaku dekat dengan dan mungkin akan selalu disampingnya, karena dia
kepercayaan dari orang yang akan dibuat biografi itu,” celotehku panjang lebar.
Ningrum masih diam, akupun diam. Keheningan mulai merayap menguasai waktu.
Lama kami terdiam bahkan sampai waktu beranjak dari senjah menjadi malam.
Ningrum bangkit dari duduknya, lalu menutup cendela dan pintu. Malam ini cerita
ditutup dengan bahasa bisu.
-##-
Ayam jantan berkokok membangunkan kami dari tidur, seiring dengan kokok
ayam terdengar suara azan dari Mushola Al-Hidayah yang hanya berjarak 500 meter
dari rumah kontrakan kami. Aku bangkit menuju kamar mandi, kubasuh wajahku lalu
akupun berwudhu untuk melaksanakan sholat subuh.
Tidak ada mimpi apapun tadi malam, tidak ada tanda-tanda dan isyarat apapun
dari Tuhan untuk aku mengambil keputusan. Aku berpikir, ini murni harus aku
yang memutuskan dengan akal dan pikiran, tidak melibatkan hati yang terlalu
berlebih, tidak melibatkan rasa hingga menghalau asa.
Dengan mantap aku memulai tulisan biografiku, masih cerita sederhana
tentang sosok dia, dia yang pantas dibuat biografinya meski mungkin dia tidak
bersedia jika ditanya pendapatnya. Tiba-tiba telepon genggamku berdering, aku
lalu meraihnya melihat di layar hand phone, siapa gerangan yang telah
menyapa sepagi ini. Kuncoro.
“Halo...apa kabar, gimana sudah ambil keputusan ?”, tanya Kuncoro dari
sebrang langsung tanpa basa-basi. Baru satu hari, padahal aku janji dua hari
baru memberi jawaban. Dan hatiku sebenarnya sudah mantap untuk menuliskan
biografi tanpa harus memikirkan imbalan berupa uang. Tokh banyak orang bilang,
uang bukan segala-galanya walaupun segala-sesuatu membutuhkan dukungan uang.
“Sepertinya aku ngak bisa ,” jawabku.
“Aku mesti selesaikan tugas penulisan biografiku ini, kalau sekarang aku
jelas ngak bisa. Sebaiknya kurekomendasikan saja orang yang bisa membantu,”
ujarku lagi.
“Please, tolonglah, setidaknya ketemulah dulu dengan bosku itu. Lusa aku harus
balik ke Kalimantan, pekerjaanku menumpuk, dan kau harus ikut,” ujar Kuncoro
memaksa.
“Nanti sore aku datang, sekalian beli tiket untuk kita berdua,” kata
Kuncoro memaksa. Entah mengapa aku terdiam, kemudian teleponpun ditutup dari
sebrang. Begitulah Kuncoro, pria ambisius yang telah membius hatiku hingga
tidur selama bertahun-tahun dengan kenangan yang tak dapat dilupakan.
Sore itu tepat pukul empat lebih lima belas menit, pintu rumah diketuk dan
entah kenapa aku berharap itu Kuncoro. Belum ada salam tapi dadaku bergemuruh,
seolah memberi isyarat bahwa aku masih rindu.
“Assalamualaikum,” ada suara salam, seorang wanita bukan suara Kuncoro.
Dengan bermalas-malas aku menjawab salam sembari beranjak menuju pintu untuk
membuka dan melihat siapa tamu yang datang itu.
“Oh bu Kartika, mari masuk bu,” ujarku.
“Ngak usah, mau menyakinkan aja kalau dirimu dan Ningrum siap menjadi
narasumber untuk lusa,” kata bu Kartika.
“Oke bu, kami siap,” jawabku membuat bu Kartika melontarkan senyum manis
yang teramat manis yang ia miliki menunjukkan dia bahagia dan senang dengan
jawabanku itu.
“Terima-kasih,” jawabnya lalu permisi pergi.
Baru saja bu Kartika beranjak, Kuncoropun muncul dihadapan kami. Tempat
pukul empat dua puluh menit, waktu sore di Jakarta sesuai janjinya. Kuncoro
melempar senyum pada bu Kartika, begitu juga bu Kartika. Ada isyarat curiga di
mata bu Kartika, tapi curiga itu adalah curiga bahagia dengan melihat senyum bu
Kartika untukku. “Akh..., bu Kartika mungkin mengira dia itu pacarku, dan entah
mengapa itu juga harapan yang ada dihatiku,” gumamku dalam hati.
Lamunan sesaatku buyar seketika ketika Kuncoro mengucap salam, menyapa lalu
tanpa permisi dia masuk ke dalam rumah. Duduk nyantai sembari menatap wajahmu
yang sedikit tersipu malu karena mengenang masa lalu.
“Gimana, sudah dipikirkan. Aku udah beli tiket kita untuk terbang ke
Kalimantan, besok,” ujarnya nyantai sambil meletakkan amplop berkop surat salah
satu penerbangan yang ada.
“Apa, kita ?” ujarku memastikan.
“Ya,” jawabnya masih nyantai seakan-akan dia yakin aku harus bersedia
berangkat dengannya.
“Gila kamu, aku banyak jadwal yang harus kuselesaikan minggu ini,” kataku
berusaha menjelaskan.
“Itu, ibu yang barusan berpapasan denganmu itu datang untuk mengingatkan
aku sebagai nara sumber dalam acara di sekolahnya lusa,” ujarku menjelaskan.
“Lusa kan, masih ada waktu untuk mencari penggantinya. Minta tolonglah sama
Ningrum,” ujar Kuncoro santai, seakan yakin aku akan ikut bersamanya dengan
meninggalkan beberapa jadwal yang telah ada.
Kuncoro pergi, aku masih terpukau memandang tiket dengan tujuan Bandara
International Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Kalimantan Timur. Balikpapan, siapa
yang tak ingin ke Balikpapan, sebuah kota yang berada di sepanjang selat
Makassar. Kota yang dikelilingi dengan pantai-pantai yang indah, kuliner laut
yang tersohor dipelosok negeri. Sungguh aku ingin sekali ke Kampung Atas Air
Margasari, sebuah kawasan pemukiman terapung di atas laut yang ditata apik nan
indah oleh pemerintah. Sungguh aku ingin sekali berjalan bergandengan tangan
dengan Kuncoro, menelusuri Pantai Lamaru, dan Pantai Kemala lalu bermain Banana
Boat dan Flying fox.
Sejuta rasa berkecamuk dalam jiwa dan pikiranku, disini aku diminta untuk
segera mengambil keputusan. Jadwal yang telah kususun sebagai pekerjaan adalah
janji dan janji adalah hutang. Pergi ke Kalimantan adalah harapan. Sesaat
jiwa dan pikiranku mengelana, melewati lorong-lorong angan hingga sampai
dipersimpangan untuk memilih. Mewujudkan janji atau menggapai
harapan. Aku kembali menimbang mungkinkan janjiku masih bisa kutunda,
lalu aku memilih menggapai harapan yang belum tentu datang dua kali. Mungkinkah
harapan yang harus kukubur untuk melaksanakan janji sebagai wujud
tanggung-jawab.
=##=
Baru lima detik kuaktifkan hand phone setelah turun dari pesawat dan
melewati area bandara, teteponku berdering. Ningrum, sobat karibku yang selalu
merasa resah jika aku bertindak salah. Sobat karibku yang selalu membeberkan
asa ketika aku menyerah. Sobat karibku yang selalu menyodorkan cinta dari
koleksi teman prianya karena resah melihat aku merana. Ya, Ningrum pantas
mendapat sematan kata ‘sobat karib’ dengan semua perhatian yang diberikannya
padaku. Aku bersyukur mendapat sahabat seperti Ningrum.
“Kamu ini gila ya, besok kamu harus jadi nara sumber di acara bu Kartika,
lusa Sinta harus mengumpulkan tugas biografinya, seabrek jadwal wawancara
untuk membuat biografi kamu biarkan berserak di meja yang merusak pemandangan
mata,” ujar Ningrum merepet dengan suara yang memekakan telinga.
Aku hanya bisa diam, Ningrum melanjutkan kata-kata repetan yang aku tau
bermakna nasehat, karena dia tidak ingin melihat sahabatnya kembali kecewa.
Ningrum tau pasti, aku masih berharap kembali merajut asa dengan Kuncoro,
setelah belasan tahun berlalu meninggalkan waktu.
“Gimana ini ?” tanya Ningrum memastikan.
“Tenang, aku sudah atasi semuanya. Jadwalku sebagai nara sumber di acara bu
Kartika akan digantikan Azizah, dan bu Kartika sudah tau dan setuju. Untuk
tugas Sinta, kemarin saat kau tak pulang, aku dan Sinta telah menyelesaikan
tugas biografinya. Dan biografi itu..., bukankah kamu yang bilang aku harus
realistis untuk menulis. Tokh menurutmu dia bukan siapa-siapa, bukankah kamu pernah
bilang, apa pentingnya menulis biografinya, dia bukan siapa-siapa, dia
tidak dikenal, tidak bersedia dikenal, tidak mau menjadi orang terkenal, bahkan
tidak suka berbicara dengan orang yang baru dikenal. Dia bahkan terkesan
sombong, selalu diam dengan tatapan curiga,” ujarku menjelaskan semua apa yang
menjadi kekhawatiran Ningrum.
“Tapi...,” suara Ningrum terhentik. Dia tidak dapat melanjutkan
kata-katanya. Dia memang tak pernah menang kalau berdebat denganku jangankan
menang, seri saja sulit, karena dia memang tipe orang yang mau mengalah.
“Tenang say, aku bisa handle semuanya, santai ajalah,” ujarku sembari
menutup pembincaraan di telepon.
Aku akhirnya menapakkan kakiku di Balikpapan, sebuah kota yang aku impikan
untuk dapat kukunjungi setelah Bali. Kutengadahkan wajahku sembari mengucap
syukur atas nikmat yang diberikan Allah. Disebelahku ada Kuncoro, sibuk dengan
tentangan koper milikku. Betapa aku menjadi orang yang sangat bahagia hari ini,
dalam hati aku bergumam “nikmat mana lagi yang akan aku dustai,”.
“Kita kerumahku dulu ya, kalau kira-kira kamu nyaman tinggal di rumahku,
tinggal aja dirumahku, tapi kalau kamu rasa ngak nyaman, nanti aku carikan
hotel untukmu,” ujar Kuncoro sembari mempersilahkan aku masuk kedalam taxi.
Lima belas menit dalam perjalanan aku sampai di sebuah rumah yang mewah,
ada halaman luas yang penuh dengan beberapa jenis bunga menghiasi taman itu.
Ada pendopo dan ayunan sebagai tanda bahwa rumah ini dihuni oleh keluarga yang
bahagia dalam kebersamaan. Sebuah rumah yang kuimpikan saat kami merajut asa
untuk saling bahagia bersama. Decak kagumku belum selesai dan tiba-tiba seorang
bocah lelaki usianya berkisar 5 tahunan datang menjerit bahagia dengan menyebut
nama papa.
“Papa...!” jerit bocah itu sembari berlari datang menghampiri kami lalu
memeluk Kuncoro.
“Hai...Alfin,” sambut Kuncoro dengan bahagia. Aku terpana, mataku nanar
menyaksikan pemandangan yang tak pernah hadir dalam lorong-lorong mimpiku
sekalipun. Tapi ini fakta, nyata, realita yang menyesakkan dada.
‘Oh ya, ini Alfin anak bungsuku,” kata Kuncoro seenaknya tanpa
mempertimbangkan hatiku yang luka.
Aku mencoba tersenyum, lalu tidak begitu lama datang seorang wanita cantik
bergaun biru, tersenyum lebar menyambut kedatangan kami. Aku yakin
seyakin-yakinnya bahwa dia adalah istri Kuncoro.
“Ma..., ini lho sahabat papa yang sering papa ceritakan. Dia akan berada di
sini agak lama karena mau buat biografi adik mama yang mau mencalon jadi
bupati. Kemungkinan dia juga akan dijadikan tim kampanye pemenangan bidang
publikasi,” ujar Kuncoro.
“Oh ini tokh, cantik ya pa. Pantas aja papa selalu mengingat dia. Selain
cantik pintar lagi,” kata istri Kuncoro sembari mempersilahkan aku masuk ke
rumahnya yang megah. Aku mencoba tersenyum, tetap tersenyum mendengar celoteh istri
Kuncoro yang mengandung makna kekaguman terhadap diriku karena bualan Kuncoro
tentang aku.
Hatiku nyeri, saat aku sadari ternyata Kuncoro melupakan aku karena telah
menikah dengan seorang anak pengusaha minyak ternama di Kalimantan Timur.
Cita-cita Kuncoro terwujud yang ingin memiliki istri cantik, rumah yang
memiliki taman, pekerjaan yang jelas hingga bahagia karena tidak kekurangan
uang. Tapi mimpi yang diucapkannya padaku dulu tentang istri cantik adalah aku,
tentang membangun rumah yang mewah yang memiliki taman itu bersamaku. Tentang
memiliki pekerjaan jelas yang dirumah selalu ditunggu istri adalah aku, tentang
anak-anak yang mungil dan cantik itu adalah anak-anak yang lahir dari rahimku.
Setelah melakukan perbincangan dan penjelasan siapa Kuncoro, siapa istri
Kuncoro yang cantik itu, serta siapa Tama Pranata yang akan dituliskan
biografinya dan punya rencana menjadi Bupati di Kalimantan Timur itu, akhirnya
kami berada pada ujung pembicaraan tentang dimana aku harus tinggal saat berapa
di Balikpapan ini.
Sebelum ditanya, sebelum istri Kuncoro merayuku untuk aku tinggal di
rumahnya, dengan segera aku berujar; “Sebaiknya aku tinggal di hotel saja,
supaya lebih fokus untuk menulis,”. Kuncoro mengangguk, istrinya juga.
“Okelah, tapi besok setelah ketemu Tama baru kamu ke hotel tempat kamu
menginap, sekarang biar aku pesan dulu, dan kamu istirahatlah dulu,” ujar
Kuncoro.
Pagi pukul 07.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA), aku sudah menyiapkan diri
untuk bertemu dengan Tama Pranata. Di ruang makan,di rumah Kuncoro, aku sudah
ditunggu oleh Kuncoro, istri dan tiga anaknya. Mereka semua tersenyum padaku,
begitu juga aku membalasnya. Anganku mengambil kesimpulan, mereka adalah
keluarga yang bahagia.
Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai di kantor Tama Pranata yang juga
kantornya Kuncoro. Kantor megah berlantai lima, dengan pegawai dan satpam yang
sangat ramah, menyambutku bersama hatiku yang luka. Sesampainya di kantor, aku
dipersilahkan duduk di ruang ekslusif milik Tama, karena Tama sedang berada
dalam perjalanan.
Saat bertemu, berceritalah kami tentang biografi, mengapa pengusaha harus
ditulis biografinya, mengapa biografi ini penting untuk salah seorang calon
bupati, dan mengapa aku yang dipilih untuk menuliskannya. Negoisasipun
dilakukan, aku minta tim penulisan biografi aku yang memilih dan menentukan,
tanpa ada nama Kuncoro tentunya. Tama pun setuju, aku bahkan dikontrak sebagai
koordinator publikasi dan promosi untuk pemenangan. Deal.
Suara dering telepon menyentakku dari lamunan, disaat aku sedang bersandar
di kursi empuk di sebuah ruangan sejuk dengan suhu AC sesuai selera. Ningrum
meneleponku, karena kecemasannya aku selalu diperlakukannya seperti anak remaja
yang baru mengenal cinta. Dia bahkan meneleponku tika kali sehari seperti
hendak mengingatkan aku untuk minum obat, karena dia tahu aku disini sedang
terluka.
“Bagaimana, kapan pulang ke Medan ?”, tanya Ningrum.
“Minggu depan, setelah itu kalau kau mau, kau bisa ikut aku ke Kalimantan,”
kataku.
“Untuk apa ?” tanyanya lagi.
“Ikut dalam tim penulisan biografi,” kataku lagi.
“Biografinya pengusaha yang temen Kuncoro itu ?, tanya Ningrum lagi.
“Iya, dia bukan hanya temannya, tapi dia juga kakak ipar pengusaha itu,”
ujarku menjelaskan.
“Kau tidak apa-apakan dengan kenyataan itu, “ ujar Ningrum mencoba mencari
tahu rasa dihatiku.
“Tenanglah Ningrum, aku sudah dewasa, sudah tua bahkan. Teman-teman kita
yang seusia kita yang sudah menikah bahkan sudah ada yang punya cucu. Saat ini
aku berpikir realita, Kuncoro sudah menikah dan bahagia. Aku disini mendapat tawaran
kerja dengan upah yang sangat fantatis, angka yang tidak pernah kudapat
setelah sekian kali aku membuat biografi,” ujarku menjelaskan dengan tenang.
Untuk beberapa detik kami saling diam, terhenti tanpa kata.
“Jadi mau dibelikan oleh-oleh apa nanti ?” tanyaku menghentikan kesunyian.
Suaraku seakan tegas mengatakan, aku tidak apa-apa, aku disini bahkan telah
menemukan fakta dari sesuatu yang tak pasti. Aku di sini telah mengambil
kesimpulan bahwa diamku dan caraku menunggu Kuncora tidak semuanya salah.
Sepiku yang membawaku menjadi penulis membawaku kembali bertemu Kuncoro serta
mendatangkan rezeki yang pasti. Halal, karena berupa jasa untuk menggapai
cita-citanya Tama Pranata. Aku tidak pernah berpikir selama ini, bahwa buku
biografi yang kutulis dibaca oleh pengusaha muda yang ternama di Balikpapan,
Tama Pranata. Buku biografi yang kutulis membuat kagum seorang pengusaha muda
hingga memaksa ingin bertemu denganku. Dan saat itu dibicarakan dengan Kuncoro,
barulah Kuncoro tahu bahwa penulisnya adalah aku, yang dulu selalu menghabiskan
waktu senjah bersama-sama seusai pulang kuliah.
“Apapun jadilah, yang penting tidak merepotkan,” ujar Ningrum.
“Tapi benerkan, kamu tidak apa-apa ?” tanya Ningrum memastikan. Aku
memastikan pada Ningrum aku tidak apa-apa, aku sudah biasa dengan kecewa
tentang Kuncoro. Pembicaraan teleponpun diakhiri.
Setelah menutup telepon dari Ningrum, aku kembali menyakinkan diriku bahwa
aku tidak apa-apa. Aku harus profesional kerja, honor Rp 15 juta perbulan plus
penginapan di hotel dan tiket Medan-Balikpapan – Balikpapan-Medan satu bulan
sekali, sebagai tim pemenangan. Plus lagi uang tunai Rp.250 juta
sebagai penulis biografi sungguh angka yang harus membuat aku bahagia untuk
menerimanya.
Lalu bagaimana dengan hatiku, cintaku, kehidupan diriku untuk berlanjut ke
masa yang akan datang. Aku harus ikhlas menerima bahwa Kuncoro bukan jodohku,
bahwa Kuncoro hanyalah masa laluku. Setelah aku sadar, aku harus mempersiapkan
diri untuk melanjutkan hidup dengan cinta baru, walau aku belum tahu itu dengan
siapa. Tapi aku harus membuka hati, mengubur memory bersama Kuncoro.
Lantas, dengan luka perih yang digoreskan Kuncoro apakah aku harus marah
dan meronta. Tidak, sebagai penulis biografi aku bahkan mengambil satu
kesimpulan. Inilah biografiku yang ditulis oleh Tuhan untukku dalam
balutan cerita yang namanya Takdir. (Selesai- Tamat). Cerita Seasen 1.
cerpen season 2 nya ditunggu ya mbak...?
BalasHapusOke...
BalasHapus