Dua anakku hadiah terindah dari Allah



Dua anakku hadiah terindah dari Allah;
Anak Pertama dari Kehamilan Keempatku

            Memiliki anak adalah impian semua keluarga yang membina  rumah tangga, tak terkecuali diriku.  Sebulan setelah menikah, aku hamil, ini adalah kado terindah dari Allah Subhana Wata’allah. Apalagi menurut mitos suku Jawa, katanya itu masa-masa hamil “manten” (hamil pada masa bulan madu). Konon ceritanya, jika istri hamil saat manten, hidupnya akan senang dan disayang mertua. Meskipun aku kurang percaya apalagi suamiku yang berasal dari suku Minang, tetapi bahagiaku dan suamiku tiada terkira.
            Karena bahagianya, suamiku selalu memanjakanku dengan mengabulkan semua keinginanku, terutama soal makanan. Katanya dia takut, jika keinginan orang hamil tidak dituruti, konon nanti lahir anaknya akan selalu  ngences  (ngences = selalu mengeluarkan air liur). Dari rasa bahagia dan takut punya anak yang suka ngences, suamiku bahkan pernah berpesan padaku pada suatu malam saat kami rebahan di tempat tidur.
            “Dek, biar anak kita ngak ngences, apa yang mau adek makan dan minum, makan aja asal bukan makanan dan minuman yang  haram,” kata suamiku saat itu.
            Masih kuingat saat itu, awal bulan Oktober tahun 2001, usia perkawinanku baru memasuki bulan ke empat, dan usia kehamilanku baru lima belas minggu ( tiga bulan dua minggu). Aku bekerja di sebuah media lokal yang ada di Medan sebagai wartawati. Karena kehamilanku aku pun meminta ditugaskan di kantor DPRD Sumut, agar tidak terlalu banyak beraktivitas. Karena aku termasuk wartawan senior yang sudah lama mengabdi, keinginanku pun dikabulkan oleh Pemimpin Redaksi.
            Siang itu, saat cuaca matahari sangat terik, sepulang dari kantor DPRD Sumut, aku singgah di kantin kantor. Duduk santai sembari menikmati angin dan memesan satu botol fanta dengan es batu. Sangat kunikmati fanta itu, segar dan terasa sejuk ditenggorokanku, dan entah kenapa aku merasa anak yang dalam kandunganku juga merasakan kesegaran fanta itu.  Tak puas dengan sebotol fanta, kemudian aku pesan lagi satu botol yang dituangkan dalam plastik yang sudah dicampur es.   
            Baru lima belas menit aku mengakhiri minumanku tiba-tiba perutku sakit, mulas seperti berputar-putar. Kutahankan karena tugas belum selesai, lama kelamaan sakit itu bertambah bahkan pinggangpun terasa diremas-remas. Dengan kondisi yang tidak nyaman tersebut, dan setelah tugas selesai, aku minta diantar teman sekantor pulang. Tapi tidak langsung pulang, merasa tidak nyaman dengan rasa sakitku, aku minta temanku untuk mengantarkan aku  ke klinik bersalin tempat dimana setiap bulan aku memeriksakan kandunganku. Setelah kuceritakan penyebab sakitnya, bidan yang menanganikupun berpesan bahwa soda tidak boleh diminum orang hamil karena bisa menjatuhkan janin.
            Masih kuingat saat itu, setelah mendapat perawatan, aku diperbolehkan pulang, meskipun aku merasa tidak nyaman dan minta dirawat, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi saat itu bidannya menyakinkan kalau kandunganku aman-aman saja karena disuntik kuat. Akupun diantar pulang oleh temanku kerumah. Suamiku belum tahu kondisiku karena dia belum pulang berdagang.
            Sesampainya di rumah, kuceritakan kondisiku pada ibuku, karena kebetulan kami masih tinggal satu rumah dengan orang tua. Ibuku pun mengingatkan agar ke depannya aku jangan minum minuman yang bersoda. Hari menjelang magrib saat itu, sakit dipinggangku semakin bertambah. Ibuku  memanggil nek Inem, nenek-nenek yang biasa menolong persalinan dengan cara tradisional, di kampung tempat tinggal kami nenek itu disebut dukun kampung. Perutku pun diperiksa, setelah memeriksa, nek Inem berbisik sama mamakku. Entah apa yang dibisikkannya aku tidak peduli karena sakit yang tak tertahankan.
            Lima belas menit setelah perutku dikusuk oleh Nek Inem, rasa sakitku hilang, tiba-tiba ada rasa ingin buang air kecil. Akupun bangkit ke kamar mandi, tapi ibuku saat itu melarang aku buang air kecil di kloset, akupun menurutinya. Tak disangka saat aku buang air kecil keluar darah dan gumpalan daging yang membuat aku menangis dengan menyebut nama Allah. “Ya Allah, apa ini ?” jeritku. Ibuku menghampiriku lalu memapahku ke kamar, tidak begitu lama datang suamiku yang saat itu membawa rujak untukku. Ibuku bilang sama suamiku, agar bersabar karena anak kami sudah tidak ada lagi. Nek Inem merasa ketakutan, dia takut suamiku marah, tapi buru-buru ibuku bilang, “Belum rezeki itu ri, Insya Allah lain kali istrimu akan hamil lagi,”.
            Meskipun sudah mendapat nasehat dari orang tuaku, suamiku tetap berduka kehilangan anak kami, dan yang lebih menyedihkan, janin yang keluar saat itu ada dua ari-arinya, berarti anaknya kembar. Suamiku membersihkan janin yang masih kecil dan ari-arinya masih sebesar belahan jengkol, lalu dibungkusnya menggunakan kain kapan lalu dikuburkannya di kuburan dekat kuburan bapaknya.
            Pasca keguguran, nek Inem membuatkan jamu untukku, katanya jamu itu untuk membersihkan kandungan dan menyuburkan kandungan  agar aku segera hamil setelah nifas. Menurut ibuku, tiga bulan aku tidak boleh melakukan aktifitas hubungan seksual karena usia kandunganku saat itu sudah hampir empat bulan. Kuikuti saran ibuku, tetap kuminum jamu yang dibuatkan nek Inem. Karena khawatir, dua bulan pasca keguguran aku dan suamiku melakukan USG untuk melihat kondisi rahim, alhamdullilah bersih.
            Ternyata, ada cerita dibalik bisik-bisik antara nek Inem sama ibuku. Kata ibuku, saat diperiksa nek Inem, janinku sudah berada di bawah kandungan, tapi ari-arinyanya masih di rahim. Kata ibuku, kalau kondisi tersebut ditangani dokter atau bidan, bisa-bisa rahimku harus dikuret dan agak susah punya anak. Nem Inem telah membantuku mengeluarkan ari-ari yang masih dalam rahim, Wallahualam (hanya Allah) yang tahu. Tapi aku sangat bersyukur karena kondisi rahimku bersih paska keguguran.
            Tiga bulan paska keguguran, setelah selesai nifas, kamipun kembali melakukan aktifitas seksual, dan alhamdullih satu bulan kemudian aku kembali hamil. Kali ini aku berniat tidak akan sembarangan makan maupun minum, sembari selalu berdoa agar Allah SWT menjaga saya dan anak saya. Aku masih ingat saat itu, usia kandunganku masih enam minggu, tiba-tiba perut dan pinggangku sakit, gejalanya sama seperti saat aku keguguran yang pertama. Akupun pergi kebidan, di tempat bidan yang berbeda karena kecewa dengan bidan pertama. Saat itu, aku juga disuntik kuat, tapi setelah disuntik, kakiku terasa lemas bahkan tak bertenaga. Suamiku mulai ketakutan, dia bertanya apa yang telah disuntikkan padaku, dan bidan yang merawatku mengatakan hanya suntik penguat janin.
            Sesampainya di rumah, hal yang sama terjadi seperti saat hilangnya anak pertamaku. Rasa sakit yang menghilang dan kemudian mengeluarkan darah. Karena usia kandungan baru lima minggu hanya gumpalan darah yang keluar. Aku menangis, suamiku menangis, ibu dan ayahku juga menangis. Malam hari aku dan suamiku saling pandang, tanpa berkata-kata sepertinya kami saling bertanya, dosa apa yang sudah kami lakukan sehingga Allah SWT memberikan cobaan yang begitu berat. Pelan-pelan kutanya suamiku, apakah dia sudah banyak menyakiti banyak wanita. Semula dia tersinggung, lalu angannya mengingat-ngingat masa lalu dan dipastikannya dia tidak pernah menyakiti hati wanita atau mengecewakan wanita sebelum menikah denganku. Akupun mengingat-ingat apakah aku ada menyakiti hati laki-laki, tapi seingatku tak pernah, pernah punya pacar tapi berpisah baik-baik.
            Dalam doa-doa malamku aku terus bermunajat, bermohon kepada Allah agar diberi keturunan. Aku berjanji dalam hati, jika kelak diberi amanah aku akan menjaganya dan akan memberikan yang terbaik buat anak-anakku. Begitu juga dengan suamiku, dia mengatakan padaku Inn sya Allah akan menjaga anak-anak kami dengan baik. Aku kembali mengikuti saran ibuku untuk kembali meminum jamu yang dibuatkan Nek Inem.  Dan setelah pasca nifas, karena usia kehamilan baru lima minggu, menurut ibuku kalau sudah bersih dan sudah lewat 40 hari sudah bisa melakukan hubungan suami istri.
            Satu bulan kemudian, paska nifas, usia perkawinanku sudah satu tahun, dan akupun kembali hamil anak yang ketiga. Gelisah, cemas menghantui perasaanku, aku takut kecewa jika nanti aku kembali keguguran. Kehamilanku kusembunyikan dari suamiku, tapi akhirnya dia tahu juga kalau aku hamil. Ketika usia kandunganku berusia lima minggu, suamiku mengajak pindah ke rumahnya dengan alasan siapa tahu kalau tinggal dirumahnya, bisa punya anak. Kebetulan dia juga anak bungsu, ketika mertuaku meminta aku tinggal dirumahnya, ayah dan ibukupun merestui, dan akhirnya aku pindah.
            Usia kandunganku saat itu 8 minggu, tepat dua bulan. Mertuaku menyarankan agar aku datang ke rumah orang tua ‘pintar’ yang juga dukun bayi, namanya nek Ribut. Kakak iparku juga katanya pernah kesana. Untuk menyenangkan hatinya, akupun menuruti dan menurutku ini adalah salah satu ikhtiar yang harus aku lakukan untuk punya anak. Seperti nek Inem, ternyata nek Ribut juga meminta aku meminum jamu ramuannya. Karena menurutnya rahimku lemah dan harus dikuatkan dengan meminum jamu ramuannya.
            Saat usia kehamilanku 12 minggu atau tiga bulan, kakak iparku menikah. Seperti layaknya orang pesta tentunya banyak kesibukan dan keramaian. Aku disarankan untuk tidak capek dan jangan ikut membantu pesta. Tapi tidak mungkin, tetap saja ada kesibukan yang kulakukan, hingga akhir pesta. Aku merasakan badanku letih sekali, pinggangku mulai sakit, rasa cemas menggelayut dalam hatiku, “Ya Allah apakah cobaan ini akan datang lagi,” pikirku saat itu sembari menangis. Suamiku yang mengetahui kondisiku lemah memberitahukan kepada mertuaku. Mertuaku saat itu meminta suamiku menjemput Nek Ribut, dan kamipun dilarang ke klinik. Kami ikutin sarannya, suamikupun menjemput nek Ribut, tapi belum lagi suamiku sampai ke rumah, janin dalam rahimku pun sudah jatuh.
            Aku menangis, suamiku menangis, berdua kami saling membisu kembali mengkaji apa salah yang sudah kami lakukan. Aku mengingat masa laluku, karena aku seorang wartawati aku selalu tidur malam dengan mencari berita investigasi, akupun dulu perokok. Dalam doa-doa malamku aku selalu memohon ampun atas masa laluku, meskipun aku tidak yakin masa laluku yang membuat aku tidak bisa punya anak, karena apa yang kulakukan tidak melanggar norma-norma agama. Soal merokok, aku juga punya teman yang sejak usia 19 tahun merokok, menikah di usia 35 tahun, tapi langsung punya anak.
            Setelah pasca nifas, kami tidak juga melakukan aktivitas seksual, kekecewaan dan rasa takut mengalami kegagalan membuat kami saling diam. Tidak saling menyalahkan tapi kami saling merasa bersalah. Komunikasi dengan suami juga semakin jarang, aku sering pulang malam, waktu sering kuhabiskan dikantor untuk menghindari bertemu dengan suamiku. Tapi suamiku tahu aku tidak kemana-mana, hanya dikantor. Kondisi keluargaku yang kurang harmonis sepertinya terbaca oleh abang iparku, yang tinggal di samping rumah mertuaku. Hingga pada suatu malam kami berdua dikumpulkannya untuk diajak berbicara tentang masalah yang kami hadapi. Kamipun menyakinkan bahwa tidak ada masalah apapun diantara kami, tetapi kami mulai sadar bahwa apa yang kami lakukan itu salah.
            Menyadari ada kesalahan diantara kami, kamipun mencoba untuk memperbaikinya. Suamiku berinisiatif untuk refresing dengan pergi ketempat wisata dan menginap di Brastagi. Dua minggu setelah itu, harusnya aku haid sesuai tanggalnya, tapi ini tidak. Aku yakin aku kembali hamil. Aku kembali cemas, uring-uringan bahkan malas beraktifitas sehingga sikapku itu menimbulkan tanya dari teman-temanku di kantor. Akhirnya aku bercerita dengan salah seorang teman sekantorku tentang kondisiku, sampai akhirnya dia mengajak aku kerumah kakaknya yang juga bidan. Aku ceritakan kondisiku saat ini, sepertinya aku hamil tapi aku belum melakukan pemeriksaan. Kakak temankupun memberikan saran agar aku berobat ke dokter ahli kandungan yang selama ini luput dari pikiranku. Selama ini yang aku lakukan berobat pada dukun kampung yang disarankan orang tuaku dan mertuaku. Dalam hati aku berdoa, “Ya Allah mungkin ini adalah jalan untuk aku dapat memiliki momongan”. Akupun diberi kartu nama oleh kakak temanku, kartu nama seorang dokter ahli kandungan.
            Sepulang dari rumah kakak temanku, malamnya kuceritakan kejadian-kejadian yang kualami pada suamiku. Kamipun saling berpelukan bahagia, karena kemungkinan aku kembali hamil. Suamiku pun mengantarkan aku ke rumah sakit dimana dokter ahli kandungan itu bertugas. Kuceritakan pada dokter itu bahwa aku mendapatkan kartu nama dari salah seorang bidan. Aku pun di periksa dengan tes kehamilan, hasilnya positip aku hamil, usia kandunganku diperkirakan seminggu. Lalu, dokter ahli kandungan itu meminta kami datang ke tempat prakteknya untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.  
            Hari itu aku tidak bekerja, sepulang dari rumah sakit menunggu waktu sore untuk datang ke tempat praktek dokter ahli kandungan itu. Sorepun tiba, satu jam sebelum waktu buka praktek kami sudah sampai, sehingga kami menjadi pasien dengan nomor urut satu. Saat itu aku di USG, dokter menunjukkan letak janin yang ada dalam rahimku pada suamiku. Kemudian dokter menjelaskan, untuk pemeriksaan awal tidak perlu ke labolatorium, bapak cukup melakukan hubungan suami istri, besok datang lagi. Pesan dokter itu tentunya membuat tanya di hati kami, begitupun pesan dokter kami lakukan.
            Esoknya, sesuai dengan janji kami datang lagi ke tempat praktek dokter itu. Kami juga menjadi pasien pertama. Usaha dan harapan ingin memiliki momongan membuat kami bersemangat untuk berobat ke dokter kandungan, tak peduli berapapun biayanya. Saat itu, aku kembali di USG dengan alat dokter yang canggih, kemudian gambar dan gerakan dalam janin disimpan dalam komputer yang terhubung dengan alat USG. Meski pristiwa itu sudah berlangsung 13 tahun yang lalu, tapi dibenakku masih teringat apa kata dokter saat itu.
            “Bapak dan ibu memang mau punya anak ?, tanya dokter saat itu. Kami tentunya serentak mengangguk.
            “Kandungan ibu kemungkinan lemah, karena itu kita akan beri vitamin dan obat penguat agar janin terjaga. Tetapi yang menjadi masalah adalah sperma yang dimiliki bapak sangat kuat, hingga dapat menyerang janin yang sudah jadi embrio,” kata dokter saat itu sembari menunjukkan gambar seperti jentik-jentik yang ada di komputer yang jumlahnya sangat banyak. Dokter mengatakan jentik-jentik itu adalah sperma baru dari hasil hubungan kemarin. Kami tidak mengerti mengapa sperma itu harus menyerang janin, kami tetap diam mendengarkan penjelasan dokter, sampai akhirnya dokter mengatakan kalau kami harus menjaga janin yang sudah jadi.
            “Selain upaya vitamin yang kita berikan, upaya yang paling penting dari bapak. Kalau memang mau punya anak, bapak harus sabar menunggu janin itu benar-benar kuat,” kata dokter yang membuat suamiku bingung.
            “Tolong bapak jangan dulu masukkan sperma dalam rahim, kalaupun mau berhubungan buang dulu di luar sampai janin benar-benar kuat,” kata dokter waktu itu. Kamipun mengerti dan suamiku siap menjalankan perintah dokter. Dokter juga berpesan agar aku tidak sembarangan makan dan minum yang mengandung asam yang tinggi, serta tidak boleh mengangkat beban secara berlebihan.
            Kami ikuti saran dokter, kami benar-benar menjaga hubungan, dan setiap hari kami panjatkan doa kepada Illahi, “Ya Allah ya Rob, ijinkanlah kami mendapatkan amanah untuk mmemperoleh keturunan dalam keluarga yang sakinah mawaddah warohmah,” ujarku dalam doa-doaku saat sholat maupun saat malam menjelang tidur.
            Jika para ibu-ibu  hamil  memeriksakan kandungannya satu bulan sekali, maka aku harus memeriksakan kehamilanku dua minggu sekali, satu kali periksa plus membayar vitamin dan obat-obatan dengan jumlah lumayan tetap kami lakukan walau penghasilan saat itu masih pas-pasan. Pengharapan kami lakukan lewat usaha dan doa, hingga pengharapanku dikabulkan oleh Allah Subhana Wata’allah. Saat itu, Selasa 18 Maret 2003, menurut dokter usia kandunganku masih 35 minggu, atau delapan bulan lebih dua minggu, mestinya bayiku diperkirakan lahir awal april, tapi ini sangat sakit. Tanpa berpikir panjang kami langsung ke pergi ke salah satu  rumah sakit ternama di kota Medan. Sesampainya di rumah sakit, suamiku menghubungi dokter ahli kandungan yang menangani kehamilanku. Akhirnya, setelah dilakukan pemeriksaan dokter bilang kandungan sudah bisa dilahirkan, dan sepakat melalui jalur operasi, besoknya, Rabu 19 Maret 2003.
            Alhamdullilah, anakku lahir dengan suara tangis yang memekik, pertanda dia dalam keadaan baik-baik. Dalam keadaan dibalut kain timbangannya hanya dua kilo seperempat, sangat kecil dan mungil. Ternyata Allah masih menguji imanku, ketabahanku, dan membiarkan air mataku mengalir. Anakku tidak mau kususui, sudah tiga hari air susuku juga belum keluar, kata perawat anakku harus dibantu dengan susu untuk bayi yang kurang bulan. Kami ikut saja saran rumah sakit walau harga susunya lima kali lipat lebih mahal dari susu formula yang lain.
 Lima hari pasca melahirkan, aku diperbolehkan pulang tetapi anakku harus tinggal di rumah sakit karena berat badannya berkurang menjadi dua kilo gram. “Ya Allah, cobaan apalagi yang harus kutempuh,” pekikku dalam hati dengan derai air mata yang tak terkendali. Aku menolak untuk pulang, aku harus tetap menunggu di rumah sakit. Sepanjang hari kuhabiskan waktu berdiri didepan kamar dimana bayi-bayi dikumpulkan, di balik kaca itu kulihat bayi-bayi tidur di tempatnya masing-masing tetapi anakku berada dalam inkubator, memakai selang infus untuk memberikan asupan giji dan vitaminnya. Ngilu hatiku melihatnya, aku penasaran apa yang telah terjadi pada anakku.
Kebetulan saat itu, salah satu perawat yang merawat anakku aku kenal, dia teman semasa SMP, padanya aku bertanya, apa yang terjadi pada anakku. Diapun menjelaskan bahwa pusar anakku mengalami infeksi, pusarnya memerah dan yang lebih parahnya anakku tidak mau minum susu formula yang menyebabkan berat badannya menurun. Mendengar penjelasannya aku menangis dan berguman, “Ya Allah, ampuni dosaku, ijinkan aku merawatnya,” ujarku.
Aku meminta masuk ke ruang bayi, kucoba menyusui anakku dengan berguman dalam hati, “menyusuhlah nak, mamak akan berhenti bekerja untuk merawatmu sampai sehat dan kau bisa menyusu sampai kapanpun kau mau,” ujarku dalam hati. Semula anakku menolak, berulang kali kuucapkan janjiku buat anakku, dan mungkin dilihatknya aku serius bahkan aku menangis akhirnya dia mau menyusu, dan seperti keajaiban air susukupun mengalir deras. Mungkin Allah mendengarkan doaku, dan akupun berniat menepati janjiku.
Setelah lima hari, bayikupun sehat, pusarnya yang memerah menjadi normal hanya saja tali pusarnya belum putus karena tali pusar yang menghubungkan keperut lumayan lebar dibanding pusar bayi-bayi  yang lain. Temanku memberikan saran agar memanggil bidan untuk memandikan dan merawat anakku sampai tali pusarnya putus. Kuturuti apa yang menjadi saran temanku itu, dan tali pusar anakku putus 28 hari. Bahagia hati kami melihat perkembangan tubuhnya, akupun berhenti bekerja. Setelah 36 hari kamipun membuat syukuran, mengaqiqahkan anakku. Dengan rasa bahagia kami beri nama dia Yusriyyah Syakinah, yang artinya anak yang membawa kesenangan, kebahagiaan dan ketenangan, begitulah yang kami rasakan saat itu.
Satu tahun delapan bulan anakku diserang diare, setelah menyusuh dia mencret. Aku pergi ke dokter, dari hasil pemeriksaan ternyata aku hamil, anakku yang kedua. Kondisi ekonomipun saat itu sangat berat, usaha dagang suamiku harus ditutup karena tidak punya izin, jika dijalankan pun harus  ‘menyetor’ uang bulanan kepada oknum aparat, hal itu sangat  bertentangan dengan hati nurani. Dengan memohon ampun kepada Allah dan berdialog dengan anakku, meskipun anakku belum mengerti,  akupun kembali memutuskan bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.
Kulalui kehamilan anakku yang kedua dengan bekerja di salah satu media di kota Medan. Media yang profesional karena menyediakan fasilitas buat karyawannya termasuk fasilitas kesehatan berupa asuransi kesehatan. Perawatan kehamilanku ditanggung, bahkan aku dapat memilih dokter ahli kandungan yang profesional yang ada di Kota Medan. Kehidupanku saat itu seperti air yang  mengalir, nyaman, tidak ada keluhan dalam kehamilanku. Dalam doaku aku berharap semoga anak yang ada dalam kandunganku ini laki-laki, karena anak pertamaku perempuan.
Kusiapkan nama laki-laki buat anakku, hingga usia kandungan sembilan bulan dua minggu. Saat pemeriksaan terakhir dokter mengatakan, anaknya sudah cukup umur untuk dilahirkan dan kata dokter panggulku kecil tidak bisa melahirkan normal, harus operasi. Jadwalpun dibuat, Selasa 9 September 2005, tanpa ada rasa sakit sedikitpun aku memasuki ruang operasi. Kali ini operasiku berlangsung lama, sampai enam jam, setelah anakku lahir dan ternyata perempuan. Kata dokter yang saling berbincang katanya kondisi perutku bermasalah, karena operasi pertama yang kurang rapi. Pembicaraan dokter sangat jelas ditelingaku karena saat itu aku mendapatkan bius setengah. Aku letih, sudah lima jam berlalu tapi belum selesai, sementara suntikan bius ditambah. Dalam hati aku mohon ampun kepada Allah, atas kesombonganku, atas keegoisanku mengharapkan anak laki-laki. Operasi usai, saat berada di ruang pemulihan semua orang terlihat membesar karena pengaruh bius yang terlalu banyak.
Dua hari pasca pemulihan, anakku pun diberikan kepadaku untuk disusui. Aku terkejut melihat wajah anakku, mirip sekali sama suamiku. Berat badannya 3,5 kg dengan panjang 50 cm, sebuah ukuran ideal untuk bayi yang baru lahir. Tapi meski dia perempuan wajahnya seperti anak laki-laki. Aku mohon ampun kepada Allah atas keinginanku mendapat anak laki-laki, harusnya apapun itu tetap harus kusyukuri. Setelah 14 hari, kamipun membuat syukuran dan akiqah buat anakku yang kedua, dan kamipun memberi nama anak kami, Annisah Asilah yang artinya, gadis yang lemah lembut gemulai. Kami berharap kelak dia akan menjadi gadis yang lemah lembut gemulai. Aku dan suamiku mensyukuri rezeki Allah dengan hadirnya dua anak perempuan sebagai hadiah terindah dari Allah untuk keluarga kami.
Sejak lahirnya anakku yang kedua, aku tidak pernah lagi hamil meskipun aku tidak pernah ikut program Keluarga Berencana (KB). Allah hanya memberikan kepercayaan dua orang anak buat kami, anakku Yusriyyah Syakinah kini berusia 14 tahun, dan adiknya Annisah Asilah berusia 11 Tahun. Aku bersyukur dan berucap; “Nikmat Allah mana lagi yang aku dustai, maha sempurna Allah, Dia punya hak mutlak untuk takdir hambaNya termasuk takdir dalam memperoleh anak”. (SELESAI. SEMOGA BERMANFAAT).

Note : Tulisan ini diikutkan dalam lomba  @ GA Perdana Dian Onasis



           


Komentar

  1. terima kasih atas keikutsertaannya ya mbak :)

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah ya mbak. . penantian yang membahagiakan. .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdullilah, akhirnya Allah memberikan "amanahNya" juga untukku sebagai ibu.

      Hapus
  3. Allah tidak pernah memberikan cobaan di luar kemampuan hambanNYA ya, mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya..
      Inn Sya Allah, karena itu jangan pernah berhenti berdoa dan berharap.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer